BABAD PETAMANAN
Dukuh Petamanan
Desa Banyuputih Kecamatan Banyuputih Kabupaten Batang
Alkisah, pada jaman dahulu ada
seorang pangeran bernama Surojoyo yang kehidupannya senang mengembara. Pada
suatu hari saat Sang Pangeran sedang mengembara di sebuah hutan di sebelah
barat Banyuputih (sekarang dinamakan Hutan Surojoyo), dia melihat gadis yang
berparas cantik dan molek. Gadis tersebut bernama Siwer atau lebih dikenal
dengan Nyi Siwer. Sang Pangeran jatuh hati dengan si Gadis. Namun pada saat
yang sama ada seorang yang juga jatuh hati dengan si gadis, dia adalah seorang
Bupati dari Liangan (satu kampung di Subah), sehingga Nyi Siwer menjadi rebutan
diantara Bupati Liangan dan Pengeran Surojoyo.
Upaya penaklukan sang gadis pun
dilakukan dengan berbagai cara, hingga terjadi perkelahian diantara Pangeran
dan Bupati. Dalam perkelahian tersebut Sang Pangeran kalah dan melarikan diri
dalam keadaan bingung ke suatu tempat yang sekarang di namakan Hutan Kethileng.
Nama Kethileng diambil dari keadaan Sang Pangeran yang thilang-thileng
(melihat kesana-sini) saat pelarian tersebut. Namun sebelum sempat melarikan
diri, Sang Pangeran sempat kecepit (kepepet), dan tempat tersebut
sekarang dinamakan Kecepit.
Dikisahkan bahwa Pangeran
Surojoyo telah mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Gento Loco.
Dijuluki Gento Loco karena dalam kesehariannya selalu berbuat tidak baik,
seperti berjudi, madat, madon, dan berbuat tercela lainnya. Perangai Gento Loco
yang tidak jauh beda dengan ayahnya ini membuat banyak orang merasa cemas,
karena sudah banyak korban akibat ulah perbuatannya.
Melihat tabiat buruk Gento Loco,
ada seorang wali bernama Wali Tamansari yang selalu berusaha mengajaknya dalam
kebaikan. Cara yang digunakan Wali Tamansari ini adalah mengajak kebaikan
dengan cara hikmah, bukan dengan kekerasan. Beliau yakin bahwa suatu
kemungkaran bila dihadapi dengan kebajikan pasti akan kalah.
Sabung
Ayam
Salah satu kegemaran Gento Loco
adalah sabung ayam. Maka Wali Tamansari mengajak Gento Loco untuk bersabung
ayam. Sebelum sabung dimulai, diadakanlah satu perjanjian, bahwa barangsiapa
yang kalah dalam sabung ayam tersebut, harus tunduk kepada yang menang.
Dengan kelebihan dan keunggulan
ayam masing-masing, maka pertarungan pun dimulai. Pertarungan ayam jago itu
sangat ramai, karena jago Gento Loco memiliki keistimewaan dan kekuatan yang
sudah dikenal masyarakat luas. Demikian juga jago Wali Tamansari, bukanlah jago
yang sembarang jago, namun jago spesial sabung.
Kisah lain mengenai jago Sang
Wali, menurut beberapa sumber yang pernah diweruhi jago tersebut
diantaranya Mbah Wazlan (putra Mbah Ya’qub). Pada suatu hari Jum’at, saat
hendak meletakkan buku khotbah di mimbar, beliau melihat jago bertengger di
sana. Beliau yakin bahwa jago itu milik Wali Tamansari, karena ayam jago itu
sangat bagus, dan warga sekitar tidak ada yang memiliki jago seperti itu.
Sang Wali selalu memandikan
jagonya di sebuah sumur yang berlokasi disebelah barat makam. Di sana pulalah
beberapa orang pernah melihat ayam jago Sang Wali.
Dalam waktu yang cukup lama
akhirnya persabungan ayam itu pun selesai. Sebagai pemenangnya adalah jago Sang
Wali. Maka sesuai dengan perjanjian Gento Loco harus tunduk pada Sang Wali.
Namun dasar Gento Loco, dia pun mengingkari perjanjian.
Sang Wali merasa dibohongi Gento
Loco, maka terjadilah perkelahian yang berlangsung sengit. Gento Loco yang ora
tedas tapak paluning pande, dan Sang Wali yang dapat menjelma menjadi
mahluk lain menambah serunya pertempuran. Dengan pertolongan Allah akhirnya
pertempuran dapat dimenangkan oleh Sang Wali. Gento mengalami luka berat,
ususnya terburai keluar.
Namun karena kesaktian Gento, dia
masih sempat melarikan diri ke arah timur dan menghilang. Tempat menghilangnya
Gento Loco ini sekarang dinamakan Lokojoyo, yang berasal dari kata luka
dan jaya, artinya walaupun Gento Loco sudah terluka parah namun dia
masih dapat survive (bertahan hidup). Sedangkan Sang Wali dan masyarakat
sekitar sudah merasa aman, terbebas dari masalah yang diakibatkan oleh ulah
Gento.
Sepeninggal Gento, dikabarkan
bahwa Sang Wali masih memelihara dan merawat ayam jagonya. Hal tersebut
dibuktikan dengan masih ditemukannya kurungan ayam (pranji) oleh Mbah
Mas’ud di satu tempat (sekarang di depan masjid). Karena itu daerah sekitar
masjid sampai sekarang lebih dikenal dengan nama Kranji yang diambil
dari kata Pranji (kurungan ayam).
Sepanjang hidupnya, Wali
Tamansari selalu berusaha mengajak kepada siapa saja untuk berbuat kebaikan,
demi terwujudnya hidup yang lebih tenteram dan damai sesuai tuntunan agama.
Untuk mengenang jasa-jasa baik Sang Wali, maka daerah tersebut sekarang
dinamakan Petamanan. Sekarang dukuh Petamanan masuk ke dalam wilayah desa
Banyuputih Kecamatan Limpung Kabupaten Batang.
Perjuangan
Mbah Kyai Mas’ud
Dikisahkan pada tahun +
1825 M terlahir seorang bocah di wilayah Mangunharjo (Wilayah Kecamatan Subah)
yang diberi nama Musdai. Bocah Musdai tumbuh dan berkembang, dan
pada usia 25 tahun pergi nyantri ke Mataram (Nusa Tenggara Barat) selama +10
tahun, dan namanya pun telah diganti menjadi Mas’ud. Berbekal ilmu yang
dimilikinya, dia berniat pulang kampung.
Sebelum pulang kampung dia diberi
wejangan oleh gurunya agar tidak langsung pulang ke tanah kelahirannya, namun
disuruh mencari Situs Peninggalan Wali Tamansari yang berupa batu yang
ada di tepian Kali Gambas. Di sanalah dia harus membangun sebuah masjid.
Pemuda Mas’ud pun mematuhi
perintah sang guru, dan berangkatlah mencari tempat dimaksud. Dia dibekali segenggam
tanah yang digunakan sebagai ciri dari tanah tujuan tempat dimana masjid
akan dibangun. Tanah di tangan dan tanah tujuan harus memiliki kesamaan ciri aroma,
warna dan teksturnya.
Batu
Paseban
Dengan pengetahuan yang diberikan
gurunya dan kemauan keras, pemuda Mas’ud berusaha dengan sekuat tenaga. Lokasi
pertama yang dituju adalah Kali Gambas. Maka setelah ditemukannya kali itu, dia
menelusuri tepian sungai (kali). Beberapa kali dia menemukan tanah yang cirinya
mirip dengan tanah yang dia bawa. Namun dia baru menemukan tanah yang dimaksud
lengkap dengan batu paseban Wali Tamansari, dan didekatnya terdapat Pranji
(kurungan ayam), yakni tempat dimana Masjid Baitusalam sekarang berada. Batu
Paseban Wali Tamansari sekarang ini terletak di bawah tanah dekat mihrab
(pengimaman).
Setelah ditemukannya tempat itu,
mulailah Pemuda Mas’ud membangun masjid. Dia sempat berfikir, apakah dia akan
mampu membangun masjid seorang diri? Kemudian muncul dalam benaknya sosok
kakaknya yang diharapkan dapat membantu pekerjaan itu. Dicarinya seorang kakak
yang bernama Hasan Mutholib yang masih berdiam di daerah Mangunharjo.
Dengan bantuan seorang kakak saja
ternyata tidaklah cukup untuk membangun masjid, dia membutuhkan tukang kayu. Seorang pemuda Truno Sayiman bergabung
membantu. Konon kabarnya dia berasal dari Demak dab masih keturunan Truno Joyo.
Bangunan masjid dibuat
menggunakan kayu yang diambil dari hasil babat alas (hutan) di sekitar lokasi
masjid, yang sebagian besar dari jenis kayu jati. Demikian pula kayu untuk
Bedug dan Kenthongan.
Gambar : Masjid peninggalan Kyai Mas’ud yang sekarang sudah direnovasi dipindahkan sebelah masjid sebagai tempat panggung belajar mengaji.
Ngramban
Ketiga orang pemuda dengan
gigihnya mendirikan bangunan masjid. Seiring dengan perjalanan waktu, masjid
pun mulai berdiri walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana. Dengan atap daun
mbulung (rumbia) yang dianyam menjadi welit, dan pagar gedhek
(dinding anyaman bambu), berlantaikan tanah yang beralaskan tikar pandan.
Masjid mempunyai 4 (empat) tiang penyangga sebagai pilar utamanya. Dalam proses
pengerjaan masjid itu, mereka tirakat tidak makan nasi, sebagai gantinya mereka
hanya makan sayuran (kluban, ngramban).
Walau belum sempurna, masjid
telah dapat digunakan sebagai tempat beribadah. Mereka membutuhkan seorang yang
mempunyai suara cukup merdu dan lantang sebagai muadzin (tukang adzan), maka
diangkatlah pemuda Ya’qub sebagai muadzin yang berasal dari Lokojoyo.
Unggah-unggahi
Kegigihan Pemuda Mas’ud dan
kawan-kawannya dalam mendirikan tempat ibadah dan penyiaran agama Islam
terdengar luas di lingkungan sekitar Petamanan, seperti Lokojoyo dan Pringapus
(salah satu dukuh di desa Tenggulangharjo). Mereka mengundang simpati dari
berbagai kalangan baik pemuda, pemudi, juga orang tua. Tidak mengherankan
jikalau pemuda Mas’ud dan Hasan Mutholib menjadi dambaan orangtua yang memiliki
anak perempuan, untuk diambil sebagai menantu.
Dikisahkan bahwa seorang haji
dari Lokojoyo yang bernama Haji Platuk mengharapkan Mas’ud menjadi menantunya.
Haji Platuk adalah julukan dari haji Abdul Syukur. Julukan itu lantaran
keberangkatannya ke tanah suci Makkah dengan membawa bekal burung platuk. Di
sepanjang perjalanan pergi hajinya beliau mempertunjukkan kemampuan burung
platuknya. Haji Abdul Syukur mempunyai seorang anak perempuan gadis bernama
Sujinah.
Demikian halnya dengan Hasan
Mutholib, dia sangat didambakan oleh seorang Mantan Kepala Desa Tenggulanghajo
sebagai menantu. Gadis Maemunah hendak dijodohkan dengan Hasan Mutholib.
Antara Mbah Manten
Tenggulangharjo dan Haji Platuk saling bersaing untuk dapat menjadi mertua
terbaik bagi mereka. Hampir setiap hari kedua calon mertua itu memberikan
kiriman makanan kepada calon menantu yang sedang membangun masjid. Suatu hari
dikisahkan, karena ingin jadi calon mertua yang baik, Haji Platuk menyembelih
ayam babon yang sedang angkrem untuk dikirim kepada calon menantunya.
Persaingan antara keduanya
mempunyai peran yang tidak sedikit, bahkan malah membantu kelancaran logistik
pembangunan masjid hingga selesai. Akhirnya pemuda Mas’ud menjadi menantu Haji
Platuk dengan mempersunting Sujinah sebagai istrinya, dan pemuda Hasan Mutholib
menjadi suami Maemunah putri dari Mbah Manten Tenggulangharjo.
Setelah bangunan masjid selesai,
kemasyhuran pemuda Mas’ud semakin luas terdengar, bahkan —menurut sebuah
sumber— kemasyhuran Mas’ud sampai ke daerah Batang dan Pekalongan.
Kemasyhurannya itu mengundang minat para kawula muda untuk ikut belajar agama
(nyantri) kepada Mas’ud. Semakin hari kian bertambah jumlah santrinya. Maka
untuk menampung para santri dibuatlah pondokan, dengan model pondok panggung
dengan tujuan lebih aman dari serangan binatang buas. Pondokan tersebut terbuat
dari kayu yang berasal dari sekitar masjid.
Kehidupan Mas’ud dan kakaknya
Hasan Mutholib menjadi semakin bahagia dengan karunia anak-anak yang
shalih-shalihah. Buah pernikahan Mas’ud dan Sujinah menurunkan 6 (enam) orang
putra yang terdiri 3 (tiga) laki-laki dan 3 (tiga) perempuan. Mereka adalah 1)
Yusuf, 2) Markonah, 3) Muhammad Asror, 4) Zaenab, 5) Khabib, dan 6) Maesaroh.
Sedangkan antara Hasan Mutholib
dan Maemunah dikaruniai 5 (lima) orang putra terdiri 3 (tiga) laki-laki dan 2
(dua) perempuan, yaitu 1) Syafii, 2) Rayis, 3) Khodijah, 4) Rumi, dan 5)
Abdullah.
Setelah menapaki perjalanan yang
cukup panjang, akhirnya beliau —Mas’ud— kembali ke haribaan Yang Kuasa,
tepatnya pada tanggal 27 Shafar (tahunnya diperkirakan sekitar 1890an M).
Beliau pergi meninggalkan sebuah warisan yang harus dijaga keberadaan dan
kelestraiannya, yaitu berupa tempat ibadah ummat Islam, masjid (sekarang
dinamakan Masjid Baitussalam Petamanan). Selain itu beliau-beliau juga
meninggalkan keturunan-keturunan yang terus berkembang, yang diharapkan menjadi
keturunan yang shalih-shalihah, yang dapat memberatkan bobot bumi dengan
kalimah Laa ilaaha illa Allah.
Sepeninggal Mbah Mas’ud pengelola
pondok dan masjid untuk sementara diamanatkan kepada Syafii putra pertama Mbah
Hasan Mutholib, sambil menunggu Khabib putra Mbah Mas’ud yang tengah menuntut
ilmu di luar daerah. Dalam mengelola masjid dan pondok Syafii dibantu oleh Haji
Muhyi.
Mustaka
Sawan Tangis
Walaupun masjid sudah digunakan
untuk beribadah, namun belum sempurna seratus persen. Layaknya sebuah masjid di
Jawa, biasanya pada bagian atas terdapat Mustaka (kubah) dan belum ada. Maka
didatangkan dua orang dari Pringapus yang bernama Yusuf dan Hasan Ali. Mustaka
yang mereka buat dijuluki sebagai Mustaka Sawan Tangis, lantaran bilamana
khutbah jum’at berlangsung banyak jamaah yang menangis (apa hubungannya
dengan mustaka?).
Hasan Ali juga yang membuat Bedug
dan Kenthongan, berasal dari satu pohon yang digunakan untuk tiang masjid.
Bagian bawah untuk tiang masjid, bagian atas untuk bedug, dan salah satu
cabangnya dibuat kenthongan. Konon kabarnya panjang bedug aslinya adalah dua
kali dari yang sekarang. Bunyi bedug itu terdengar sampai radius enam
kilometer, seperti Subah. Panjang bedug dipotong separuhnya karena Sang Wedana
Subah merasa terganggu dengan bunyi bedug itu, dan memerintahkan untuk
memotongnya.
Demikian halnya dengan bunyi
kenthongan, hingga seorang Sinder Perkebunan (Karet, Randu, Kopi, Coklat)
Pendem tertarik dengan bunyi kenthongan itu. Dia meminta kenthongan itu dibawa
ke pabrik, yang akan digunakan sebagai tetenger waktu para pekerja
pabrik. Namun setelah sampai di Pabrik Pendem ternyata bunyinya tidak seperti
waktu masih berada di masjid. Sang Sinder kecewa, dan kenthongan pun
dikembalikan lagi ke masjid. Sampai sekarang bedug dan kenthongan masih
dilestarikan.
Setelah Syafii meninggal dunia,
tampuk kepemimpinan masjid diganti oleh Abdullah putra Hasan Mutholib,
sehubungan Khabib yang masih berada di luar daerah menuntut ilmu. Dan setelah
Khabib pulang, beliau bersama dengan Abdullah memimpin dan mengelola masjid.
Peninggalan Besar
Peninggalan besar dari Mbah
Mas’ud wa ihwanihi adalah sebuah bangunan masjid yang merupakan masjid
tertua kedua di Kecamatan Limpung dengan bentuk aslinya telah
direnovasi total pada tahun 1995 mengingat bangunan yang sudah demikian tua dan
sudah tidak mampu lagi menampung kapasitas jamaah. Peninggalan lainnya adalah
beberapa bagian tanah di dukuh Petamanan, yang di dalamnya terdapat Pemakaman
Warga Petamanan.
Masjid Kranji
Petamanan dan Bedug
1 comments:
Permainan Togel Paling Terpercaya Saat ini..Winning303 hadirkan togel SGP terbaik di Seni 4D...
Pemasangan mudah dengan bayaran tertinggi...
Dapatkan Diskon :
- 4D = 65%
- 3D = 59%
- 2D = 29%
- Colok Jitu = 5%
- Shio = 10%
Dapatkan Juga Prediksi-prediksi Super Jitu Yang Akan Kami Berikan...
Ayo Segera Bergabung Dengan Kami...
Hubungi Segera:
WA: 087785425244
Cs 24 Jam Online
Post a Comment