Kyai Shobari Mbah Guru Banyuputih
Almagfurlloh Kyai Shobari
wafat pada 13 Muharram 1399, Oleh masyarakat desa Banyuputih beliau lebih di
kenal dengan nama Mbah Guru Sabar, karena memang beliau berprofesi
sebagai seorang guru yang mengajar di sekolah rakyat pada masa penjajahan Belanda,
pada masa itu untuk menjadi guru dan bersekolah hanya terbatas pada
kalangan orang Belanda dan pribumi ningrat, akan tetapi beliau berpesan pada
anaknya agar tidak menjadi pegawai negeri pada pemerintah Belanda, sampai-sampai
anaknya yang bernama mbah ridwan disuruh berdagang dan di larang menjadi
pegawai negeri, beliau tidak suka menjadi guru di bawah pemerintahan Belanda.
Gambar : Makam Mbah Kyai Shobari Bin Musa
yang terletak di belakang Rumah tempat mengajar Ngaji beliau
Ayah beliau bernama Musa, belakangan
menurut mbah Sikun anak beliau yg meninggal beberapa bulan lalu, pernah
menemukan catatan nama anak-anaknya termasuk dirinya terdapat gelar seperti
raden mas untuk anak laki-laki, dan raden roro untuk anak perempuan, waktu itu
kata mbah Sikun beliau bertanya kok ada gelar ini?, jawab Kyai Shobari
"simbah (mbah Musa), masih tedak keraton" / kakek masih ada kaitan
dengan keraton, mulai generasi anak anaknya gelar raden sudah tidak di
cantumkan di depan nama anak-anaknya, setiap kelahiran anaknya kyai Shobari
tidak pernah melapor ke keraton guna mendapatkan surat keterangan nasab dan
pengakuan dari keraton. Hal ini memang cermin dari ketawadhu'an seorang
penempuh Jalan Tarekat, yang bertujuan meniadakan diri. Kepada mbah Sikun
beliau berkata; "ora usah Raden-Radenan".
Mbah Musa (ayah Kyai Shobari) merupakan
pendatang dari Solo / Jogja, di ceritakan bahwa beliau jenuh dengan kehidupan
dalam keraton, kemudian merantau sampai Limpung dan menjadi seorang mantri
garam.
Pada masa muda nya Kyai Shobari muda
pernah pergi bertapa ke hutan bersama dua orang kawannya dalam rangka pencarian
jati diri, kawan beliau bernama Untung dan Ratijan. Dalam masa pertapaan itu mereka
bertiga mendengar ada suara tanpa rupa yang berkata "Kalian sudah mencapai
tingkatan Tuhan tidak perlu ibadah lagi", Untung dan Ratijan
mempercayainya sedangkan Shobari masih tetap pada keimanan dan keislamanya, dengan
menganggap itu setan yang sedang menggoda, belakangan Mbah Untung menjadi
pemeluk agama hindu, Mbah Ratijan menjadi Kejawen yang menganggap diri sudah
mencapai tingkatan Tuhan, yang pernah membuat geger masyarakat Banyuputih
dengan yakinnya mengumumkan hari kematiannya, pada saat sudah merasa dekat
dengan kematiannya malah nanggap (menggelar hiburan) kesenian Barongan, di
tunggu kok tidak meninggal juga,akhirnya meninggal juga tapi tidak sesuai hari
yang ia ramalkan. Mbah Ratijan pernah berkata kepada Mbah Kyai Shobari
"Bar ; Dewe iku wis ora perlu sembah yang meneh, wis tekan tingkatan Gusti
ALLAH, akan tetapi perkataan tersebut tidak di gubris oleh Mbah Kyai Shobari, setelah
panjang lebar menasihati mbah Ratijan yang tetap pada pendiriannya.
Kyai Shobari Berkhalwat
Ketika Jaman sedang gentingnya
terjadi peperangan Kyai Shobari melakukan suluk / khalwat selama 40 hari, selama
40 hari tersebut beliau dalam satu hari hanya makan pisang 1 biji.
Menurut Informasi dari salah seorang
murid seniornya yang masih hidup bernama Mbah Muridun Bahwa Tarekat yang di
tempuh oleh Mbah Kyai Shobari adalah Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah.
Salah seorang muridnya yang bernama
Lek Syamsudin pernah berkata bahwa Kyai Shobari jarang tidur, sering Lek
Syamsudin mengintip gurunya sedang Wiridan Berdzikir, sambil sesekali terdengar
biji tasbihnya.
Galak Dalam Mengajar
Kyai Shobari Mengajar Membaca Tulis
Al Qur'an kepada murid-muridnya yang terdiri dari anak-anaknya sendiri dan anak-anak
Banyuputih yang datang untuk belajar membaca Al Qur'an.
Mbah Kyai Shobari dalam mengajar
memang terkenal tegas dan disiplin, jika makhraj kurang sempurna, walaupun itu
anak sendiri pasti akan kena Githik Tuding dari kayu. istilahnya orang sekarang
adalah perfeksionis hasil didikannya pun tidak mengecewakan.
Pada masa itu di banyuputih jarang
orang yang sholat dan menjalankan syariat agama islam secara benar. Suatu
ketika ada orang yang pulang naik haji datang kepada Kyai Shobari mengatakan
bahwa ia mendapatkan amanah dari seseorang di Mekkah berupa jubah yang harus di
pakai oleh Kyai Shobari. Kyai Shobari pun memakai jubah tersebut dengan
perasaan menahan malu, dan jubah tersebut hanya satu kali saja di pakainya.
Suatu Kali Mbah Sikun pernah
bercerita bahwa ada seorang tamu yang bertubuh kurus yang datang jauh-jauh dari
Banyuwangi hanya untuk minta di doakan oleh Kyai Shobari, Mbah Sikun (anak Kyai
Shobari) berkata bahwa dari balik tirai ia menyaksikan "Kyai Shobari
berdo'a mengangkat kedua tangannya di ikuti oleh tamunya tersebut".
Pendiri Pondok Pesantren Nurul Huda
Banyuputih yang bernama Kyai Kusnaeni, ketika akan pergi menuntut ilmu
agama ke lain daerah terlebih dahulu meminta restu kepada Kyai Shobari.
Kyai Shobari menikah lagi dengan
pembantunya karena istri pertamanya meninggal dunia, pembantunya ini sangat
sayang kepada anak-anak dan cucunya, pembantunya ini bernama mbah Buyut
Su'irah, beliau janda di tinggal meninggal suaminya yang di bunuh Belanda
dengan cara di tarik kereta kuda dari Banyuputih sampai ke Subah karena
ketahuan membantu pejuang Republik.
Demikian sekelumit riwayat dari Mbah
Kyai Shobari Bin Musa Banyuputih, sebenarnya riwayat cerita beliau sangat
banyak di karenakan riwayat hidup beliau yang tidak di dokumentasikan dengan
tertulis dan sumber di dapatkan dari hasil wawancara dengan orang-orang
terdekat beliau dan para muridnya yang masih hidup.
Peninggalan Beliau berupa Jubah kiriman
dari seseorang di Mekah yang sampai sekarang belum di ketahui namanya.
Kitab-Kitab ; Salah Satu Kitab Besar
Karya Imam Al Ghazali yang di ketahui berada di tangan anak beliau Mbah Nur
yang turun kepada anaknya Lek Ruri Paesan Kedungwuni Pekalongan.
Keris Pusaka yang di berikan kepada
orang-orang yang sanggup merawatnya.
bi syafa'ati Rasulillah SAW Al
Fatihah......
Sumber :
Tanggal : 16 November 2013 pukul 22:54
0 comments:
Post a Comment