SITUS BATANG
KUNO MASA KLASIK (HINDU-BUDHA)
Studi
Historis Wilayah Lama Situs Ekskavasi di Kabupaten Batang
Oleh : Butuk Buwang
A. Pendahuluan
Sejarah
Indonesia Kuno masih banyak menyimpan masalah yang belum terungkap. Khususnya
mengenai kisah tentang Jawa Tengah Kuno yang tertulis dalam buku-buku sejarah,
lebih-lebih buku-buku yang berkaitan dengan pembelajaran sejarah di
sekolah-sekolah, selalu diawali dengan penyajian mengenai muncul dan
berkembangnya kerajaan-kerajaan Jawa Hindu dibagian pedalaman selatan Jawa
Tengah. Dinasti Mataram Kuno dimunculkan secara tiba-tiba dengan mendapat porsi
sorotan sejarawan secara lebih luas di daerah Kedu Selatan dan sekitarnya
sedangkan bagian lain dari Jawa Tengah seakan-akan dibiarkan terlantar dalam
kegelapan sejarah (Oemar, 1995 : 57).
Batang adalah sebuah kabupaten yang terletak dipesisir
utara Jawa Tengah. KabupatenBatang
memiliki banyak peninggalan-peninggalan situs-situs sejarah kuno yang
penyebarannya melingkupi seluruh wilayah di Batang. Situs-situs sejarah
tersebut terdapat disekitar Batang yang diantaranya di
Kecamatan Wonotunggal, Tersono, Reban, Bawang, Gringsing, Selopajang, dan
Blado. Sejarah kuno di Kabupaten Batang sendiri bisa diketahui dengan
peninggalan bukti-bukti sejarah diantaranya sumber temuan berupa prasasti yaitu
: Prasasti Sojomerto, Prasasti Bendosari, Prasasti Wuntit, Prasasti Kepokoh,
dan Prasasti Banjaran. Selain benda temuan yang lain berupa peninggalan jaman
Hindu seperti lingga yoni, Ganesa, Nandi, runtuhan candi, dan bekas
bangunan-bangunan/tempat bersejarah.
Di Kabupaten Batang mempunyai peninggalan kuno yang
penyebaranya meliputi seluruh wilayah yang ada di sekitar Batang. Peninggalan
dari hasil temuan arkeologi dan temuan masyarakat sekitar mempuyai keunikan dan
merupakan peninggalan masa lampau yang sebagai bukti bahwa daerah ini mempunyai
penghuni yang berbudaya. Berdasarkan peninggalan-peninggalan karya budaya
manusia yang ditemukan di Batang, baik lewat penemuan biasa secara kebetulan,
penturan tradisi lokal maupun ekskavasi yang terancana oleh beberapa pihak
menampakan gejala bahwa daerah tersebut sejak jaman dahulu sudah memiliki masyarakat yang terikat dalam
tatanan kehidupan yang teratur yang layak masuk dalam tinjauan sejarah.(Oemar,
1995 : 58).
Kabupaten Batang sebenarnya mempunyai banyak situs
sejarah. Namun kekayaan sejarah itu belum mendapat perhatian masyarakat luas, termasuk kalangan pendidikan.
Karena itulah perlu pengenalan tentang lingkungan sejarah daerah Batang
kepada dunia pendidikan khususnya pendidikan diwilayah Batang. Situs sejarah juga bisa disebut sebagai museum lapangan karena
musium yang terletak didaerah terbuka seperti situs-situs sejarah. Situs
sejarah juga bisa digunakan sebagai pendidikan untuk siswa sebagai sumber media pembelajaran
agar siswa bisa berpikir analisis tentang bukti historis
peninggalan-peninggalan sejarah yang berkaitan dengan pembelajaran sejarah di
sekolah.
B. Daerah
Batang dan Sekitarnya dalam Sejarah
Daerah
Batang dan sekitarnya dalam sejarah Indonesia Kuno masih merupakan praktis
belum dikenal umum meskipun kalau dilihat dengan kacamata pandangan historis daerah
tersebut cukup mencurigakan. Daerah Batang terletak di wilayah Jawa Tengah
Utara bagian Barat, tepat disebelah Utara Dieng. Dengan ditemukan benda temuan
purbakala di wilayah situs Batang dalam peninggalan Hindu mengundang pemikiran
bahwa daerah tersebut mempunyai nilai sejarah dalam peristiwa masa lampaunya.
Kabupaten
Batang secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 zona. Zona Utara meliputi daerah
pesisir, daerah Tengah meliputi pegunungan Roban hingga wilayah Bandar Utara,
zona Selatan meliputi daerah disebelah Selatan pegunungan Roban hingga
pegunungan Kendeng. Daerah Batang merupakan daerah yang subur karena mempunyai
aliran sungai yang melimpah dengan tanahnya yang gembur. Di zona utara terdapat
5 sungai yang cukup besar yaitu sungai Kuto di Gringsing, langsea di Subah,
sungai Baya di Tulis, sungai Keramat di Batang, dan sungai Kupang di
Warungasem. Posisi geografis daerah Batang dan sekitarnya mengundang pemikiran
bahwa sejak jaman dahulu (jaman Kuno) daerah tersebut sudah dipilih orang untuk
dihuni dan mempunyai kontak dengan daerah luar.
C. Daerah
Batang dan Problematika dalam Sejarah Indonesia Kuno
Dalam
sejarah Indonesia
di jumpai tidak sedikit persoalan yang sesungguhnya belum terpecahkan. Adanya
problem-problem yang tetap belum dapat di pecahkan tersebut terutama disebabkan
oleh kurangnya sumber yang tersedia. Akibatnya gambaran sejarah yang di peroleh
belum jelas, lebih-lebih mengenai sejarah Indonesia Kuno.
Tanda-tanda
kehidupan di Jawa Tengah, dalam buku sejarah daerah Jawa Tengah, dijelaskan :
“Dari sumber-sumber yang terbatas
dapat diduga, bahwa tanda-tanda kehidupan di Jawa Tengah mulai tampak sejak
abad ke VII dengan diketemukannya prasasti Sojomerto atau mungkin lebih awal
lagi pada abad ke V / VI dengan diketemukan prasasti Tuk Mas yang menurut Prof.
Dr. Poerbotjaroko diperkirakan dari tahun 500-an. Sedangkan tanda-tanda
kebudayaan di Jawa Tengah mulai tampak sejak abad ke VII yaitu dengan
berkembangnya agama Budha aliran Hinayana sekte Mulasaraswatiwada di kerajaan
Holing. Sejak kerajaan Holing lenyap tidak diketahui lagi kelanjutan
perkembangan agama Budha aliran Mahayana. Kedua macam agama itu hidup dan
berkembang berkat dukungan dinasti Sanjaya dan Saelendra yang memerintah Jawa
Tengah.”
Sejarah
Indonesia Kuno hingga abad ke-10 M, dapat disusun berkat ditemukannya sejumlah
prasasti serta peninggalan purbakala lainnya dan berita-berita luar negeri
(terutama berita Cina). Dalam berita-berita dari Cina disebutkan sejumlah nama
tempat yang di duga berada dikepulauan Indonesia. Sebagian nama tempat
tersebut belum dapat dilokasisasikan dengan tepat. Diantaranya nama-nam tempat tersebut di hubungkan dengan
pulau Jawa ialah Mo Ho Sin dan Ho Ling.
Sehubung dengan masalah yang dikemukakan, patut
diperhatikan bahwa beberapa sarjanan menghubungkan kedua nama tempat tersebut
dengan daerah Batang atau tempat disekitarnya. Dr. Poerbocaroko menduga daerah
Masin (di kecamatan Warungasem) sebagai letak Mohosin, sedangkan Groeneveldt
menunjuk Dieng sebagai kemungkinan lokasi Lang Pi Ya.
Meskipun identifikasi Lang Pi Ya
dengan Dieng kurang diterima mengingat dari Dieng orang tidak dapat melihat
laut, namun barang kali Groenweldt menduga bahwa Holing terletak di daerah
Batang maupaun tempat disekitarnya. Berbeda dengan Goenweldt, Orsoy de Flines
menempatkan Lang Pi ya di bukit Lasem.
Penelitian
di daerah Batang menunjukan pertanda yang cukup menarik dalam rangka mencari
letak Lang Pi Ya. Seperti diketahui menurut I-tsing, Holing terletak di sebelah
timur Mohosin.
Dalam tahun 1962 di Batang ditemukan prasasti Sojomerto. Prasasti
ini sangat menarik perhatian karena di dalamnya terdapat nama Dapunta
Syailendra. Bagaimana hubungannya dengan Syailendrawangsa belum jelas.
Berdasarkan prasasti-prasasti yang pernah ditemukan, para sarjana belum bisa
memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang asal usul serta pertumbuhan
kekuasaan Syailendrawangsa di Jawa
Tengah. Nampaknya perlu di usahakan sumber-sumber baru, baik didaerah Batang
maupun tempat lain.
Dengan ditemukan prasasti Sojomero yang kuno
itu (pertengahan abad ke VII M, menurut Drs. Buchari) dan sejumlah peninggalan
purbakala di daerah Batang dan Dieng, berkembanglah pendapat mengenai proses
peng-Hinduan, khususnya tentang jalur lalu lintas masuknya kebudayaan Hindu
kedaerah pedalaman Jawa Tengah. Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa asal
usul terjadinya hubungan antara bangsa Indonesia
dan India
adalah melalui perdagangan mengingat kondisi geografis Jawa Tengah, berat
dugaan hubungan itu terjadi melalui Pantai Utara.
D.
Peninggalan Situs
Sejarah di daerah Batang
Benda-benda penemuan hasil peninggalan sejarah di daerah
Batang bisa dijumpai baik didaerah pantai maupun pedalaman. Dari
penelitian sementara, dapat diketahui bahwa benda-benda peninggalan tersebut
berasal baik dari zaman prasejarah maupun zaman sejarah hingga abad ke-10
M. Berdasarkan aktivitas pencarian serta
penelitian sumber-sumber sejarah didaerah Batang dan sekitarnya, bahwa lokasi penemuan,
benda-benda sejarah situs Batang Kuno dapat dibagi dalam 6 wilayah temuan yaitu
:
1.
Peninggalan sejarah
di wilayah situs Geringsing
2. Peninggalan
sejarah di wilayah situs Tersono
3. Peninggalan
sejarah di wilayah situs Reban
4.
Peninggalan sejarah
di wilayah situs Blado
5.
Peninggalan sejarah di wilayah situs Selopajang
6. Peninggalan
sejarah di wilayah situs Wonotunggal
7. Peninggalan
sejarah di wilayah situs Bawang
Peninggalan
sejarah tersebut berupa prasasti-prasasti maupun peninggalan-peningglan sejarah
lainnya.
1. Peninggalan
Prasasti
a) Prasasti
Sojomerto
Lokasinya
terdapat didaerah desa Sojomerto Kecamatan Reban. Di perkirakan berasal dari
abad ke 7 M. prasasti tersebut di pahatkan dengan huruf Pallawa. Prasasti
bersifat Siwaitis dan memuat silsilah Dapunta Syailendra.
Gambar
2 : Prasasti Sojomerto dari abad ke
VII (sumber : Penelitian Epigrapi Jawa Tengah
no. 32)
b)
Prasasti
Banjaran
Lokasinya terdapat didaerah dukuh Banjaran desa Semampir
Kecamatan Reban. Diduga prasasti ini sejaman dengan prasasti Sojomerto. Belum
ada sumber yang memuat tentang isinya.
Gambar
3 : Prasasti Banjaran dari desa Semampir
(sumber
: Berita Penelitian Arkeologi no. 9)
c)
Prasasti
Bendosari
Lokasinya terdapat di daerah desa Sidorejo Kecamatan
Gringsing. Terletak ditepi pantai pada sebelah mata air, tidak jauh dari muara
sungai Kuto di Gringsing. Prasasti diperkirakan berasal dari awal abad ke 8 M
dan berisi pujian terhadap mata air.
Sekarang Prasasti Bendosari disimpan di musium Ronggo Warsito Semarang.
d)
Prasasti
Blado
Lokasinya terdapat di daerah dukuh Kepokoh Kecamatan
Blado. Prasasti ini
dengan huruf Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta, sisi belakang bergambar
bulan Sabit. Parasasti blado berasal dari abad ke 7 M. Isi pokoknya berkaitan
dengan dana atau semacam sedekah (persembahan) yang diberikan seorang raja
kepada suatu daerah atau kepada bangunan suci. Pada baris ke 5 tersebut kata
sima (daerah perdikan) atau siwi (persembahan, pengabdian).
2. Peninggalan
Situs Sejarah Lain
Peninggalan situs sejarah tersebut
penyebarannya luas didaerah Batang, terutama didaerah Batang selatan, yaitu :
a) Peninggalan sejarah
didaerah situs Gringsing
Peninggalan
situs sejarah dari Bendosari yaitu prasasti Bendasari, dua buah arca Hamsa,
sebuah jaladwara, dan batu bekas bangunan dari batu bata berukuran 40 x 20 cm.
Gambar 7 : bentuk pgalan sejarah di situs Gringsing
Bilamana sisa-sisa bangunan
tersebut sejaman dengan prasasti Bendasari, berarti di Bendasari, di sekitar
abad ke-8 telah terdapat suatu masyarakat yang telah terpengaruh oleh
kebudayaan India. Mungkin merupakan pelabuhan utama yang
menguasai perdagangan antara daerah pedalaman dengan pedagang-pedagang asing.
Perlu di kemukakan 15 KM kearah pedalaman kita jumpai peninggalan purbakala
yang diduga berasal dari abad yang sama di darah Tersono (desa Rejosari).
(Oemar, 1995 : 63).
b) Peninggalan sejarah
didaerah situs Tersono
Gambar 8 : bentuk peninggalan sejarah di situs Tersono
(sumber : dokumen dinas pariwisata dan arkeologi)
(sumber : dokumen dinas pariwisata dan arkeologi)
Peningalan sejarah dari desa
Rejosari yaitu : arca Ganesa tinggi 47 cm, dua buah arca Nandi, sebuah arca
Jaladwara mungkin Durga, bekas-bekas pondasi bangunan dari batu bata, dan
batu-batu bekas alas pintu gerbang. Selain itu di daerah Pejambon
terdapat 2 batu pengilon.
Di samping itu terdapat nama “Pecinan”
dan “Siklenteng” serta tradisi rakyat mengenai daerah tersebut. Peninggalan di
Rejosari mungkin sejaman dengan prasasti Bendasari. Adanya pemeluk agama Hindu
di Tersono dalam abad ke-7 tidaklah mengherankan apabila diinginkan bahwa dalam
abad tersebut telah tertulis prasasti Sojomerto (+ 10 KM di sebelah
barat daya Tersono). (Oemar, 1995 : 64).
c)
Peninggalan sejarah
didaerah situs Wonotunggal dan situs Silurah.
Ø Gajah
Indra
Peninggalan di desa Brokoh sebuah arca
orang naik gajah, empat buah umpak, sebuah arca manusia dan kapak-kapak
Neolitik.
Gambar 9 : peninggalan Gajah Indra di situs Wonotunggal
Ø Situs Silurah
Peninggalan
didaerah Silurah diantaranya Ganesa dengan ukuran besar, patung Siwa tanpa
kepala, lingga dan yoni. Selain itu ada bekas bangunan reruntuhan candi.
Gambar
10 : peninggalan Ganesa di situs Silurah
Ø Peninggalan benda-benda perhiasan dari emas di Warungasem
(dekat desa Masin/wura-wari)
Prasasti Canggal sebagai bukti
sejarah Indonesia yang dibuat pada tahun 732 M atas perintah Raja Sanjaya
menyebutkan bahwa “di Pulau Jawa yang masyhur ada seorang raja bernama Sanna”.
Sanna yang agung atau “Mahasanna” kemudian berubah menjadi Mahasin dan orang
sekarang menyebutnya dengan Masin, adalah sebuah desa di Kecamatan Warungasem
Kabupaten Batang.Tersebutlah kerajaan Mahasin dengan rajanya Senna yang
memerintah rakyatnya dengan adil dalam waktu yang lama. Pada tahun 684 M
Mahasin digempur oleh Sriwijaya. Senna bersama dengan putra mahkotanya lari
kearah selatan mendirikan padepokan di Desa Silurah, ditandai dengan adanya
situs misterius dengan patung Ganesya dan peninggalan purbakala bercorak Hindu lainnya, sedangkan Sanjaya
sebagai putra mahkota diungsikan ke selatan di kaki gunung Merapi.
(http://www.batangkab.go.id/pariwisata/Sejarah_Batang.htm)
d)
Peninggalan sejarah
didaerah situs Selopajang dan sekitarnya.
Ø Peningalan di Selopajang yaitu : arca manusia, 8 buah
arca Nandi, sebuah prasada, sebuah padmasana, dua buah Yoni, batu-batu bekas
bangunan, pecahan-pecahan kramik, sebuah arca Ganesa, sebuah arca Siwa maha
guru.
Ø Peninggalan purbakala didesa Selokarto yaitu : benda-benda
prasejarah kapak Neolitik, kramik, batu bekas bangunan Hinduistis.
Ø Peninggalan sejarah didesa pecalungan yaitu: bekas pondasi, sebuah Yoni dan
batu bekas bangunan.
Ø Peninggalan
sejarah didesa Tumbrep yaitu : batu-batu bekas bangunan, sebuah arca Nandi, dan
lingga.
Penyebaran peninggalan situs sejarah
dalam lingkungan wilayah Selopajang tersebut terletak + 2-4 KM dekat
dengan prasasti Banjaran dan Indrokilo. Dari peninggalan prehistoris, kiranya
dapat disimpulkan telah adanya suatu masyarakat yang tertata dan berpusat di
daerah Selopajang sebelum datang pengaruh kebudayaan Hindu yang
selambat-lambatnya dalam abad 7 telah sampai disana. (Oemar, 1995 : 65).
e)
Peninggalan sejarah
di daerah situs Bawang
Ø Peninggalan didesa Candi Gugur yaitu : sebuah padmasana,
arca Nandi, sebuah Jaladwara dan sebuah Lingga.
Ø Peninggalan
di desa Cepit yaitu arca manusia setinggi 75 cm, arca Nandi, Lingga-Yoni, batu
bekas pondasi suatu bangunan dan sebuah relief Kala.
Bawang terletak di sebelah utara Dieng
dan merupakan daerah yang berdekatan dengan Dieng, dapat diperkirakan bahwa
dulu merupakan tempar lalu lintas orang-orang menuju Dieng. Jalan Budha yang
dalam tradisi dipandang sebagai jalan yang dilalui para peziarah Dieng,
bekas-bekasnya ditemukan didaerah Bawang. Tidak heran jika di Bawang terdapat
sejumlah peninggalan purbakala.
Dari peninggalan di Kepyar dengan jelas
dapat diketahui bahwa didaerah itu dahulu pernah terdapat suatu bangunan candi.
Arca Kala Kepyar cukup menarik perhatian berbeda dengan arca Kala pada umumnya,
misalnya arca Kala di Dieng, Borobudur dan Prambanan, Kala di Kepyar mempunyai
bingkai atas yang jelas, begitu pula lidahnya tampak jelas lukisannya atau
pahatan perhiasannya halus.
Moh. Oemar menggambarkan adanya bentuk
campuran dalam gaya seni Kala Kepyar (mirip Kala dari Campa dan arca Singa dari
Gandara), serta bentuknya yang agak berbeda dengan arca Kala di Jawa Tengah
bagian selatan, besar kemungkinan merupakan bentuk baru dari anasir seni baru
yang dating dari luar Jawa. Pengaruh anasir asing tersebut menurut E. B. Volger
terjadi antara pertengahan abad ke-9 hingga lebih kurang tahunm 927 M.(Oemar,
1995 : 66).
f) Peninggalan sejarah
di daerah situs Blado
Peninggalan purbakala di dukuh Kepokoh desa Blado yaitu
prasasti Blado (Kepokoh), dan Lingga yoni
Terdapatnya peninggalan prasasti di
daerah Blado memperkuat bahwa daerah ini mempunyai pengaruh adanya kerajaan yang
ikut andil dalam wilayah di sekitar Batang. Apabila pembaca prasasti ini betul
isi pokoknya berkaitan
dengan dana atau semacam sedekah (persembahan) yang diberikan seorang raja
kepada suatu daerah atau kepada bangunan suci. Pada baris ke 5 tersebut kata
sima (daerah perdikan) atau siwi (persembahan, pengabdian).
E.
Tinjauan Historis Wilayah Batang
Batang adalah sebuah kabupaten di
pantai utara Jawa Tengah. Kabupaten Batang dan sekitarnya dalam sejarah Indonesia
kuno masih merupkan daerah belum
banyak dikenal umum padahal didaerah Batang mempunyai letak yang strategis bila
dilihat dengan kacamata pandangan histories, daerah tersebut sangat
mencurigakan. Bagaimanapun daerah Batang kuno pasti sudah mempunyai kebudayaan
walaupun dari tingkat yang sederhana. Posisi geografis serta keadaan
geomorfologi Kabupaten Batang mengundang
pemikiran bahwa sejak dahulu jaman kuno daerah Batang sudah dipilih
orang untuk dihuni karena mempunyai posisi menyelenggarakan kehidupan. Selain
itu daerah tersebut besar sekali kemungkinan untuk mengadakan kontak dengan
daerah lain atau luar (Oemar, 1995 : 58).
Berdasarkan pendapat dari
ahli-ahli sejarah Dr. N. J. Krom Schruke, Orsay de Elines, Dorris, Brummunk,
Buchari, Suyatmi Satari, dan masih banyak lagi maka daerah pantai utara
Jawa Tengah merupakan daerah Kerajaan Hindu sejak abad ke-V (Kabupaten Batang,
1993 : 79).
Prasasti Pengilon di kabupaten
Batang, di ungkap dalam surat
kabar Wawasan
tanggal 29 Agustus 2006 yaitu
“Kabupaten
Batang ternyata memiliki berbagai peninggalan kuna yang mengandung nilai
sejarah. Selain Patung Ganesha yang terletak di Desa Silurah, Kecamatan
Wonotunggal yang diyakini merupakan peninggalan kerajaan
pada zaman Agama Hindu-Buddha, juga terdapat sebuah prasasti batu yang dikenal
dengan sebutan Prasasti Batu Pengilon. Prasasti batu tersebut berada di areal
persawahan milik penduduk Dukuh Kepokoh, Desa Blado, Kecamatan Blado.
Dinamakan Batu
Pengilon, menurut Kasmad, salah satu tokoh masyarakat Dukuh
Kepokoh, karena batu tersebut memang dulunya ada kaca yang menempel di batu
tersebut. Konon ceritanya, kaca tersebut sering dipakai untuk berhias diri.
Kasmad
menambahkan, prasasti batu itu sekarang terletak di areal persawahan milik
Sayid. Oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Batang, prasasti batu yang diyakini
memiliki kaitan sejarah itu sekarang dibuat permanen dengan di pagar keliling.”
Kabupaten Batang memiliki
keanekaragaman bentuk peninggalan masa lalu dan kuno yang penyebarannya
meliputi seluruh yang ada di sekitar Batang. Peninggalan dari hasil temuan
arkologi dan temuan masyarakat sekitar mempunyai keunikan dan merupakan
peninggalan masa lampau yang sebagai bukti bahwa daerah ini berpenghuni yang
berbudaya. Tim penyusun sejarah Batang (1993 : 76) menyebutkan data-data maupun
temuan benda-benda pada era pra-historis memang tidak begitu banyak seperti
halnya temuan benda-benda peninggalan zaman klasik atau Hindu, yang dapat dibilang
tersebar diseluruh wilayah Batang. Dengan ditemukan beberapa peninggalan
benda-benda kultur Megalitik seperti Punde, Menhir, dan artefak-artefak,
kereweng-kereweng lokal, dan terakhir ditemukannya pecahan Nekara dari desa
Siberuk Subah, ini sudah dapat membuktikan bahwa pada zaman itu daerah Batang
telah dihuni oleh manusia yang berbudaya dengan segala kegiatan-kegiatan dalam
memenuhi hajat hidup.
Hasil surve tahun 1975-1976 oleh
pusat Arkeologi Nasional di Pekalongan, Batang, dan Kendal banyak mendapatkan
hasil temuan baru yang tersebar dari tepi pantai laut Jawa sampai kepuncak
pegunungan yang berupa prasasti, runtuhan candi, pondasi bangunan-bangunan
klasik, patung dan lingga yoni. Penemuan benda-benda tersebut menyebar di
seluruh wilayah Kabupaten Batang.
Pengaruh
kebudayaan Hindu sampai di daerah Batang karena merupakan pengaruh dari
kebudayaan luar yang menyebar akhirnya datang ke daerah Batang. Pengaruh ini muncul
karena daerah Batang merupakan jalur strategis menuju daerah pedalaman daerah
Jawa Tengah.
Tinjauan
histories oleh Moh. Oemar dalam Lustrum VII IKIP Semarang (1995 : 69-74)
mengenai kerakatan dan tinjauan Historis wilayah situs Batang Kuno menyebutkan
penggambaran daerah persebaran benda di situs Batang sangat mempunyai nilai
Historis. Penelitian Moh. Oemar itu yaitu dijelaskan sebagai berikut sesuai
gambaran sejarah yang di tulis dalam lustrum :
Karekaan
daerah Tersono
Daerah Tersono, seperti telah di kemukakan, berada di
sebelah tenggara daerah Kabupaten Batang. Dengan wilayah Kecamatan Limpung, keduanya
merupakan kesatuana, yakni terletak di antara kedua pegunungan (Roben dan
Kedang) dengan sungai-sungai yang tidak sedikit. Kenyatan itu menyebabkan
daerah tersebut subur sejak dulu kala.
Sebagai
daerah pedalaman lembah Tersono tidak begitu
jauh dari laut. Antara lembah Tersono dengan Gringsing (Bendasari) terletak
sugai Kuto. Ini berarti, sebagai daerah pedalaman Tersono tidak tertutup
terhadap kemungkinan hubungan yang lancer dengan luar. Dengan meliahat kondisi
geografisnya, tidaklah mengherankan apabila di daerah itu pernah berkembang
suatu kerakaan. Ditunjukan daerah itu sebagai daerah kademangan oleh Susuhan barangkali
tidak hanya didorong oleh faktor-faktor
sosial ekonomi, melainkan juga faktor histories. Analisis Schrieke mengenai sebab kedudukan keraton Mataram
Islam serta pergeserannya yang selalu berada di lingkugan atau disekitar daerah
Surakarta, dapat sebagai bahan pertimbangan. Dengan menilik kemugkinan kejadian
dalam lingkungan kerajaan Mataram, pemilihan Tersono sebagai kademangan barangkali
karena daerah itu pernah berdiri suatu kerakaan. Peninggalan purbakala disana
adalah bukti kuat dari kerakaan Tersono.
Pusat
kerakaan barangkali terletak di Pejambon, yang menurut tradisi dikenal sebagai
pusat kademangan. Pejambon terletak 1,5 km sebelah selatan Pejaten, tempat
ditemukannya peninggalan purbakala. Dalam pertumbuhannya kerakaan Tersono
mungkin dapat menguasai lembah Tersono-Limpung hingga Bendasari yang terletak
di muara sungai Kuto. Penguasaan atas Bendansari adalah penting sekali karena
merupakan tempat paling mudah untuk mengadakan hubungan dengan luar. Penguasan
atas Bendansari oleh kerakaan Tersono tidaklah terlalu sulit. Tersono sebagai
kerakaan argraris dengan daerahnya yang subur, cukup kaya baik di bidang ekonomi
maupun tenaga manusia.
Bendansari
tentunya merupakan suatu”Marbour
principality” yang barangkali tumbuh dari perkampungan nelayan. Letaknya di
muara sungai Kuto, telah memberikan keuntungan dibidang perdagangan
barang-barang dari daerah pedalaman. Selain dari pada itu, mata air
Balaikambang tampaknya merupakan daya penarik bagi perahu-perahu untuk
mengambil air tawar di tepi laut ada penting sekali, sehingga timbulnya pujian
terhadapnya yang digurutkan dalam prasasti tidaklah mengherankan. Menurut
penelitian, prasasti Bendansari berisi pujian terhadap mata air tersebut.
Di atas
dikemukakan mengenai suatu kemungkinan dikuasainya Bendansari oleh kerakaan
Tersono. Penguasaan Bendansari oleh kerakaan Tersono penting sifatnya guna
memperlancar hubungan dengan luar. Telah dilangsungkan hubungan perdagangan
dengan luar negeri (India maupun Tiongkok) dapat diketahui dari berbagai
faktor. Pertama, pengaruh Hindu telah sampai di daerah
itu selambat-lambatnya abad VII M. (bagaimana juga para pedagang adalah pionir
yang membina hubungan antara kepulauan Indonesia dengan India). Kedua, tradisi
di desa Rejosari mengenai sawah Pecinan dan sawah Si Klenteng. Tradisi ini,
seperti kami duga, mugkin menunjukkan adalah hubungan dengan Tiongkok, dalam
arti ada pedagang-pedagang Tionghoa yang sampai di Tersono pada zaman itu.
Sawah Si
Klenteng terletak di sebelah barat sawah tempat dijumpai peninggalan purbakala.
Si Klenteng yang barang kali merupakan bekas bangunan klenteng,
serta letaknya yang berdekatan dengan bangunan klenteng di sana berasal dari
zaman kuno. Petunjuk yang pasti mengenai hal itu tidak dijumpai, namun tradisi
tentang sawah Pecinan sebagai bekas perkampungan orang-orang Cina yang menurut
tradisi itu jauh lebih tua dari kademangan di Tersono, tampaknya menang menunjukan
hubungan antara si klenteng dengan Pecinan dan orang-orang Tionghoa telah
sampai disana pada Zaman kerakaan Tersono.
Sawah Pecina
terletak di dekat sawah Pejambon yang kemugkinan sekali merupakan letak pusat
karekaan Tersono. Perkampungan pedagang asing yang tidak jauh dari pusat
pemerintahan mungkin sudah bisa pada zaman kuno maupun pada zaman berikutnya.
Dalam perkampungan orang-orang asing tersebut tetap hidup menurut
kebiasaan-kebiasaan di negerinya. Mereka memilih tempat di dekat keraton mungkin atas dasar
pertimbangan keamanan. Hubungan mereka dengan penguasa tentunya hanyalah dalam
segi ekonomi. Sebagaimana diketahui, perdagangan di Indonesia pada waktu itu
barada di tangan penguasa.
Adanya
perkampungan pedagang-pedagang asing di karekaan Tersono barangkali dapat di
terima mengigat letak yang strategis dalam lalu lintas (perdagangan) antara
daerah pedalaman (daerah Bawang, Dieng dan mungkin juga Selopajang) dengan
pantai utara (Bendasari). Karekaan Tersono dengan Bendasari merupakan pintu
gerbang terdekat bagi daerah Bawang dan Dieng untuk menuju pantai utara. Oleh
karena itu hubungan perdangangan antara pedalaman dengan pantai utara tentulah
melalui daerah Tersono. Di daerah Selopajang dan Selokerto, lebih-lebih di
tempat peninggalan purbakala, ditemukan pecahan-pecahan keramik dan pernah
tergali sejumlah benda-benda keramik seperti tempayan, piring dan mangkok.
Hal ini
menunjukkan adanya hubungan perdagangan dengan daerah pesisir. Hubungan itu
mungkin melalui Tersono dan benda-benda keramik diatas tentunya berasal dari
pedagang Tionghoa di sana. Dari Selopajang ke Tersono tidak begitu jauh,
melalui sungai Petung, dari Rejosari orang sampai di Selopajang ke Sojomerto.
Ini agaknya tersimpul dalam suatu tradisi di desa Banjaran dan sekitarnya yang
menyatakan bahwa jalan di sebelah timur Banjaran, yang menuju ke Sojomerto,
adalah bekas dari Bruklinting. Dugaan peranaan karekaan Tersono menuju Simbang
Klawen dan selanjutnya menuju Dieng mengikuti jalan Budha.
Teradisi
tersebut yang masih diragukan kebenarannya oleh Dr P.J. Veth, dengan
ditemukanya peninggalan purbakala di daerah Tersono, barangkali memang benar
adanya. “Onbelisl is het of de volagens
de inlanders zeer eude weng die in Pekalongan van Tersono naar Simbang Klawen
vort, made tot de boddha-wegen
behoort” (PJ.Veth,1896:110).dari pusat karekaan Tersono ini baerangkali
kebudayaan Hindu memancar ke daerah pedalaman.
Dari
beberapa faktor yang dikemukakan, tidaklah terlalu sulit bagi karekaan Tersono
untuk tumbuh menjadi karekaan yang cukup kuat dan sanggup bertahan lama. Berita
Tiongkok mengenai negeri-negeri di lautan selatan, bukan tidak mungkin bila ada
yang meyinggung karekaan Tersono ini.
Pegunungan
Kendeng di sebelah selatan Rejosari tidak begitu jauh dari peninggalan
purbakala di Pejaten. Untuk mencapai puncak dari Pejambon atau Rejosari cukup
dalam waktu 30 menit. Dari puncaknya orang dapat melihat laut dengan jelas.
Dalam tradisi di desa Rejosari, antara lain diceritakan bahwa dari Pejambon
hingga pegunungan Kendeng dahulu kala terdapat jalan besar. Dengan mengingat
peristiwa-peristiwa itu histories yang mungkin terjadi di daerah Tersono,
barang kali pegunungan Kendeng ini dapat dipergunakan sebagai bahan penelitian
lokasi Lang-pi-Ya, yang tersebut dalam berita Tiongkok sebagai tempat yang sering
dikunjungi raja untuk melihat laut.
Karekaan
di daerah Bawang
Bawang
terletak di daerah Batang Tenggara dan merupakan perbatasan dengan wilayah
Kedu. Di bandingkan dengan daerah Selopajang atau Tersono, Bawang jauh lebih
tinggi, sekitar 900 m, di atas permukaan
laut. Oleh karena letaknya itu, Bawang memegang peranan penting sebagai
penghubung antara wilayah Dieng dan pedalaman Jawa Tengah dengan daerah pesisir
utara. Hal ini terbukti dengan ditemukannya bekas-bekas jalan Budha yang menuju
ke Dieng dan terus ke daerah Begalan.
Karekaan
Bawang berdasarkan peninggalan purbakala yang ada, tidak begitu jelas
pertumbuhannya apakah tumbuh sejajar dengan karekaan Selopajang dan Tersono,
atau baru timbul pada masa kemudian. Penelitian sementara terhadap peninggalan
kuno disana menujukkan bahwa di antara bangunan-bangunan tersebut mugkin
berasal dari abad ke-9 M. Ini berarti bahwa abad ke-9 M, itu terdapat karekaan
di daerah Bawang yang aktif melaksanakan pembangunan candi. Tampaknya karekaan
di sana dikembangkan dalam abad ke-9 M, dan merupakan suatu karekaan yang kuat
di daerah Batang.
Usia bagunan
kuno di Bawang relief dapat diketahui oleh karena ditemukannya relif-relif Kala.
Di antara kala-kala tersebut, kala dari Kepyar adalah agak menarik perhatian
sebab bentuknya agak berbeda dengan di tempat lain. Kala itu mempunyai bingkai
yang jelas dengan lidah menjulur tanpa di stylir.
Kala dengan bentuk bingkai dapat di jumpai antara lain di Candi Gedong Songo C,
tetapi bentuk kedua kala tersebut tidaklah sama benar. Lidah yang begitu jelas
tidak tampak dalam kala dari Candi Gedong Songo C. Pada umumnya lidah itu sudah
diubah polanya begitu rupa sehinga tidak begitu merupakan salah satu dari
bentuk anasir asing yang masuk ke Jawa dalam abad ke-9 M, sebagaimana diduga
oleh E.B. Voger menghubungkan timbulnya anasir asing itu dengan terbitnya
prasasti Gondosuli.
Bila mana
dugaan di atas itu benar, maka terdapatnya anasir asing di daerah Bawang adalah
cukup menarik perhatian sehubungan dengan terlihatnya perkembangan baru dalam
kehidupan politik di daerah pedalaman Jawa Tengah, menjelang pertengahan abad
ke-9 M. Pada masa tersebut timbul prasasti Gondosuli (Kedu Utara) yang
berbahasa Melayu kuno oleh De Casparis gejala tersebut dipandang sebagai
kebangkitan kembali Dinasti Sanjaya. Dari hal-hal diatas adalah mungkin bahwa
dalam abad ke-9 M, karekaan Bawang didominir oleh para petualang perang (warlike settlers) dari luar jawa, yang
mungkin mempuyai hubungan dengan Rakai Patapan. Masalah tersebut menyangkut
hubungan antara daerah Bawang dengan kekuasaan di daerah pedalaman Jawa Tengah.
Pengaruh
Dinasti Sanjaya di Daerah Batang
Dari
peninggalan-peninggalan purbakala tersebut di atas, baik berupa prasasti, seni
bangunan maupun tradisi di daerah Batang, menimbulkan dugaan adanya pertalian
antara karekaan-karekaan di daerah Batang dengan daerah
Dieng dan sekitarnya, yang merupakan wilayah pengaruh kerajaan Mataram kuno.
Bangunan
candi di Dieng barangkali merupakan hasil karya karekaan-karekaan yang
terdapat di sekitar Dieng, termasuk karekaan di daerah Batang. Dieng tentunya
tempat suci bersama.
Terdapat
ikatan erat antara daerah Batang dengan Dieng dan ikut serta karekaan di sana
dalam pembangunan candi-candi di Dieng didukung oleh berbagi tradisi yang
tersebar di daerah Batang. Misalnya tradisi Dipikulnya dua lumpang dengan Dieng
(di desa Sidoarjo-Bawang), adanya mata air yang airnya berasal dari Dieng (di
desa Selokarto), gua yang menghubungkan daerah Selopajang dengan Dieng
(di desa Selopajang), batu yang digiring dari Rejosari ke Dieng (di Tersono),
dsb.
Tanda-tanda
adanya ikatan politik antara daerah Batang dengan kekuasaan di daerah pedalaman
Jawa Tegah di sekitar pertengahan abad ke-9. Dalam pembicaraan
mengenai karekaan di daerah Bawang telah dikemukakan adanya gejala-gejala yang
mungkin menunjugkan adanya unsur-unsur asing yang sampai di Jawa Tengah di
sekitar abad ke-9.
Jogler menghubungkan anasir asing
terdapat di Candi Gedong Songo dengan Rakai Petapan serta pertaliannya dengan
Sanjayawangsa. Sementara itu De Casparis berpendapat bahwa bahasa melayu kuno
pada prasasti Gondosuli merupakan
pertanda bangkitnya kembali Sanjayawangsa karena memperoleh dukungan kelompok
penguasa yang berasal dari luar Jawa.
Apabila dugaan adanya anasir
asing pada peninggalan seni bangunan di daerah Bawang tersebut di bangun oleh
para pendatang dari luar jawa. Bilamana benar ada penguasa asing dalam karekaan
Bawang dan sesuai dengan penguasa di Gondosuli, kemungkinan memang terdapat
hubungan antara
kekuasaan
politik di wilayah tersebut. Sejauh mana peranan daerah Bawang khususnya dan
Batang umumnya dalam pertikaian politik di pedalaman Jawa Tengah pada
pertengahan abad ke IX tersebut, masih perlu penelitian lebih mendalam.
Adanya pengaruh dinasti Sanjaya
di daerah Batang itu lebih jelas dengan ditemukannya prasasti Indrokilo dari tahun
884 M. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Rakai Kayuwangi, yang antar lain
berisi tentang pembelian tanah oleh permaisurinya Rakai Kayuwangi.
Sesudah masa Kayuwangi, dan
dengan pindahnya pusat kekuasaan ke Jawa Timur, keadaan di daerah Batang tidak
jelas. Tetapi kemungkinan sekali disana tetap terdapat karekaan-karekaan.
Tradisi lokal mengenai berlangsungnya pertempuraan antara kerajaan Karang Kobar
serta adanya nama-nama desa seperti Wurawari (terdapat di desa dengan nama
tersebut) dan masih di daerah Batang nampaknya mendukung hipotesa bahwa
kerajaan Wurawari terletak di Jawa Tengah bagian barat dan wilayahnya
terbentang hingga daerah Batang.
B.
Kesimpulan
Hasil penelitian tersebut, sekali
masih “summir” sifatnya, agaknya
dapat juga memberi
daya terang kesejarahan kepada daerah Batang di bagian utara Jawa Tengah yang
selama ini belum tergambar dalam kanvas Sejarah Indonesia Kuno. Penelitian ini
dapat digunakan dalam dunia pendidikan sebagai perkenalan sejarah daerah Batang
untuk sebagai alternatif sumber media pembelajaran sejarah perkembangan
Hindu-Budha di Indonesia dan khususnya Batang.
Dengan demikian dalam
batasan-batasan tertentu diharapkan hasil penelitian ini akan menyediakan
peluang bagi para ahli yang berminat untuk melakukan penelitian yang lebih luas
dan mendalam atas daerah tersebut untuk mengagkat Batang dan daerah pesisir
utara Jawa Tengah umumnya ke dalam percaturan Sejarah Indonesia Kuno.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini
menyajikan pendapat:
a.
Berkat
ditemukanya benda-benda sejarah yang beragam-ragam pada waktu akhir-akhir ini,
di daerah Batang sekitarnya, cukuplah alesan utama menduga bahwa sesungguhnya
di daerah tersebut pada masa sebelum, semasa dan sesudah Zaman Mataram Kuno
sudah merupakan tempat pemukiman manusia yang terkait dalam intuisi masyarakat
yang teratur. Sungai-sungai, lembah-lembah yang subur dan letaknya yang
berpegunugan dan memangku lautan bukanlah alasan yang mustahil untuk menggunakan
dugaan tersebut di atas.
b.
Dari
beberapa keterangan yang terdapat pada prasasti-prasasti yang akhir-akhir ini
diketemukan di daerah tersebut, seperti prasasti Sojomerto, indrokilo, dsb.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah Batang jelas mempunyai kontak dengan
daerah-daerah di sebelah selatan pegunungan yang merupakan pengaruh dari
kerajaan Mataram Kuno. Bahkan mungkin beberapa tempat/desa di daerah tersebut
dahulu pernah menjadi pusat “kerajaan” yang penting yang pernah disebut-sebut
dalam bagian lain dalam sejarah kuno, antara lain Masin dan Worawari.
c.
Sebagai
daerah yang mempuyai masyarakat yang “hidup”, Batang mempunyai kontak dengan
daerah luar Jawa lewat perdagangan. Dugaan ini dikuatkan antara lain oleh
letak/ posisi geografisnya dan ditemukannya banyak benda-benda keramik Cina
dari bermacam-macam abad, mulai abad X sampai abad XV. Bukti-bukti lain seperti
“tangga Budha” di daerah kecamatan Bawang lebih memperkuat dugaan bahwa Batang
merupakan “pintu gerbang” masuknya agama dan kebudayaan Hindu ke bagian selatan
Jawa Tengah.
d.
Melihat
keadaan alamnya yang banyak dialiri air oleh sungai-sungai kecil dengan verval
yang cukup baik dan melandai dari arah selatan ke utara kuatlah dugaan bahwa
daerah Batang benar-benar wilayah yang ideal untuk mengembangkan kehidupan
bertani dengan system sawah basah. Dengan demikian, mengikuti logika Van
Naerssen daerah tersebut dapat di duga sebagai wilayah awal dari pertumbuhan
institusi kerakaan dalam tata kehidupan masyarakat para Hindu yang sangat
penting kedudukannya dalam proses peralihan ke zaman pengarah Hindu .
e.
Setelah
surutnya kekuasaan Sanjaya dan Syilendra di Jawa Tengah daerah Batang rupanya
tidak ikut ”mati”, masyarakat di daerah tersebut tetap berkembang terus dengan
serba masalahnya dan merupakan mata rantai dengan zaman berikutnya.
Demikian secara garis besar keadaan
daerah Batang dan sekitarnya pada masa kuno yang seyogyanya mendapat peninjauan
histories secara lebih insentif.
Mari belajar sejarah melalui
situs Batang kuno guna menciptakan pembelajaran sejarah yang baik bermutu, dan
sebagai generasi penerus berpikir historis menapak peristiwa masa lalu sebagai
pembelajaran masa sekarang agar lebih baik lagi. Dengan
kemampuan tersebut, kita akan mendapat pelajaran bahwa kebudayaan bangsa Indonesia,
khususnya wilayah Kabupaten Batang itu sudah tinggi. Kebudayaan itu perlu kita
jaga dan lestarikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Pendidikan dan Kebudayan Batang. 1993/1994. Sejarah
Batang Suatu Pendahuluan. Batang : Sekertariat daerah Kabupaten Batang.
Depdikbud.
1976/1977. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Semarang : Depdikbud.
Oemar, Moh. . 1995. ‘Sejarah Batang Kuno dan Sekitarnya
Studi Wilayah Sejarah Lama’. Lembaran
Ilmu Pengetahuan Khusus In Memoriam Lustrum
VI IKIP Semarang. Semarang : UPT IKIP Press.
Satari, Soejatmi dkk. 1977. Laporan Hasil Surve Kepurbakalaan di daerah Jawa Tengah Bagian Utara
Kabupaten Pekalongan, Batang dan Kendal, Nomer 9. Jakarta : PT. Rora Karya.
Siswanto, Ady. 1986. Data Arsitektur Tradisional Batang.
Batang : Depdiknas.
Suhadi, Machi dan MM. Soekarto. 1986. Laporan Epigrafi Jawa Tengah, Nomer 37. Jakarta : CV. Solidaritas
Jaya.
Internet
Arsip artikel kabupaten Batang. Dalam http://www.batangkab.go.id/headline/0608.htm
(Data tanggal 3 Maret 2007, pukul 22.07 WIB).
Sejarah Batang dan Munculnya Pemerintah Kabupaten Batang.
Dalam. http://www.batangkab.go.id/profile/sejarah.htm (Data tanggal 3 Maret 2007, pukul 23.15 WIB).
Wisata budaya. Dalam http://www.batangkab.go.id/pariwisata/Sejarah_Batang.htm
(Data tanggal 3 Maret 2007, pukul 23.20 WIB).
Media massa
Koran Wawasan, tanggal terbit 29 Agustus 2006.
Koran Wawasan, tanggal terbit 31 Agustus 2006.
Koran Suara Merdeka,
tanggal terbit 19 Agustus 2006.
4 comments:
Maaf untuk revisi Lokasi Prasasti Bendosari ditemukan di Desa Sidorejo Kecamatan Gringsing.. bukan di tempat Desa kebondalem.
Keren..di daerah bawang juga sekarang sudah mulai di temukan batu2 seperti bgian candi..dan serpihan sendok kuno
izin share ..kang
Wes titi wancine budoyo jowo tukul
Post a Comment