BABAD ALAS CIKAL BAKAL LOKOJOYO
STUDI SEJARAH MAKAM WALIYULLAH LOKOJOYO
DALAM SYIAR ISLAM DI DUKUH LOKOJOYO
Pada zaman dahulu ada cerita rakyat terjadi di
lingkungan Dukuh Lokojoyo Kelurahan Banyuputih Kecamatan Banyuputih. Ternyata
Ditempat itu ada beberapa makam yang dikeramatkan yang dianggap sebagai
pepunden sesepuh Lokojoyo diantaranya makam Raden Syarif Umar (Sunan
Jati Bonjor), Putri Pandansari, Raden Umar Syahid (Kyai Gatok Lokojoyo), Raden
Syaidina Umar Malik (Patih Lokojoyo), Raden Sangkur Umar (Raden Suparbo Wijoyo)
dan Raden KH. M. Abdul Syukur.
Lokojoyo merupakan pedukuhan bagian
dari desa Banyuputih Kecamatan
Banyuputih Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. Dukuh Lokojoyo ini
dilihat dari lokasi tempatnya dikelilingi oleh :
Sebelah Timur :
Dukuh Kayen Desa Kalibalik
Sebelah Selatan :
Dukuh Jati Rejo (Bakal) Desa Luwung
Sebelah Barat :
Dukuh Petamanan Desa Banyuputih
Sebelah Utara :
Dukuh Sidorejo (Bubakan) Desa Banyuputih
Lokojoyo sendiri merupakan pedukuhan dengan tanah
subur di karena disebelah timur dan baratnya diapit aliran sungai dan wangan. Sejarah kampung Lokojoyo sendiri
merupakan perkampungan yang unik karena mempunyai nama yang melegenda.
Asal Muasal Nama Lokojoyo
Kampung Lokojoyo merupakan kampung lama yang mempunyai
makna dan arti. Nama kampung Lokojoyo sendiri tidak sembarangan dalam memberi
nama karena mempunyai nilai sejarah awal muawal pemberian nama. Dalam penulisan
kampung sendiri ada yang mengatakan dengan tulisan Lokajaya atau Lokojoyo.
Definisi menurut kamus Bahasa arti
Lokojoyo berasal dari kata Loka dan Jaya yaitu :
No.
|
Nama
|
Asal
Bahasa
|
Arti Nama
|
1.
|
Tempat / dunia
|
||
2.
|
Loka
|
jawa
|
Tempat, Panggonan
|
3.
|
Loka
|
Letak, Lokasi
|
|
4.
|
Kemenangan
yang hebat, kuat
|
||
5.
|
Kesuksesan,
kejayaan, unggul
|
||
6.
|
Menang,
berjaya
|
||
7.
|
kemenangan,
berhasil
|
||
8.
|
Sifat
pengasih dan penyayang
|
Bila kita lihat dari definisi Bahasa diatas nama Lokojoyo
yang berasal dari kata Loka dan Jaya mempunyai kesimpulan
arti bahwa Kampung Lokojoyo merupakan tempat atau panggonan untuk kemenangan
yang hebat sebagai lokasi kejayaan yang memiliki sifat pengasih dan
penyayang. Kampung ini bernama Lokojoyo artinya tempat
kemenangan.
Nama kampung Lokojoyo menurut
masyarakat dari beberapa versi :
Nama Lokojoyo sendiri banyak
yang mengartikan berasal dari nama besar Sunan Kalijaga yang diberi julukan
Berandal Lokajaya. Sunan Kalijaga diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih
‘Perampok Budiman’. Sunan Kalijaga adalah putra dari Bupati Tuban VIII Raden Tumenggung Haryo Wilotikto.
Brandal Loka Jaya (Sejarah dari Sunan Kalijaga)
Sunan Kalijaga dikenal sebagai Brandal Loka Jaya,
karena sebelum jadi Wali Sunan Kalijaga adalah brandal (preman) yang
suka mencuri hasil kekayaan Kadipaten Tuban. Namun, hasil curian
tersebut untuk para Fakir
Miskin.
Lama-kelamaan, perbuatan tersebut diketahui oleh ayah Sunan
Kalijaga dan diusir dari Kadipaten Tuban. Dalam pengasingannya, Raden Mas
Syahid (Sunan Kalijaga) bertemu dengan Sunan Bonang.
Sunan Bonang
memiliki Tongkat emas yang membuat Raden Syahid menjadi ingin
memiliki tongkat tersebut. Sesaat kemudian, Sunan
Kalijaga merebut tongkat emas dan Sunan Bonang
jatuh tersungkur. Sunan Bonang menangis dan Sunan Kalijaga merasa iba. Akhirnya
Sunan Kalijaga mengembalikan Tongkat Sunan Bonang dan Sunan
Kalijaga bertanya bagian mana yang membuat beliau kesakitan. Namun, Sunan Bonang
menangis bukan karena kesakitan, tapi beliau menangis karena memutuskan rumput dan
beliau berkata bahwa beliau merasa kasihan karena rumput yang tidak bersalah
harus mati tercabut karena kesalahan beliau. Sesaat kemudian, beliau
menancapkan Tongkat di Pesisir dan menyemburkan air. Tempat tersebut dinamai Sumur
Srumbung. Setelah itu, Sunan Bonang menunjukkan Buah Aren yang berwarna
emas. Raden Syahidpun tergoda
dan memanjat pohon aren tersebut, tapi sebuah aren menimpa kepala beliau dan
beliaupun pingsan. Setelah sadar, Raden Syahid diajak Sunan Bonang menuju Sungai di
daerah Sekardadi Kecamatan Jenu. Di sana,
beliau menjaga tongkat Sunan Bonang yang ditancapkan pada sebuah batu. Anehnya, beliau
tertidur selama 2 tahun. setelah sadar, Raden Syahid diberi pakaian dhalang
oleh Sunan Bonang dan di Juluki Sunan
Kalijaga, maksudnya Kali dalam bahasa Indonesia
berarti sungai, dan Jaga dimaksudkan karena sudah menjaga tongkat
Sunan Bonang.
Nama kampung
Lokojoyo di desa Banyuputih merupakan kampung
kemungkinan bukan bagian dari Sejarah Sunan Kalijaga hanya memang merupahan
hasil dari Riyandhoh atau tapa dari Raden Syarif Umar (Sunan Jati Bonjor)
Kampung Lokojoyo ini merupakan
perkampungan menggunakan nama yang melegenda untuk menelisik sejarah awal kampung
ini berdiri, perlu memahami beberapa pendapat dari para sesepuh kampung. Dari
beberapa masyarakat atau sesepuh mengatakan bahwa Kampung Lokojoyo merupakan
hasil dari Riyandhoh atau tapa dari Raden Syarif Umar atau Sunan Jati Bonjor
sebagai pembabad alas cikal bakal kampung Lokojoyo.
Legenda lisan leluhur
selanjutnya nama Lokojoyo diambil dari tempat pertarungan Gento Lokojoyo dengan
Jamaludin, yang berasal dari kata Luka
(terluka) dan Jaya (masih hidup)
artinya walaupun Gento Lokojoyo terluka parah namun dia masih hidup karena
kesaktiannya. Gento Lokojoyo yang suka merampok orang kaya tetapi bijaksana
dalam membagikan harta rampasannya untuk rakyat yang kelaparan. Versi Legenda
lisan lemah karena nama kampung Lokojoyo sudah ada sejak Sunan Jati Bonjor dan
merupakan hasil Riyandhoh atau tapa untuk babad alas kampung Lokojoyo.
Cikal bakal babad alas Lokojoyo
pertama merupakan sebagai perkampungan penyebar agama Islam hal ini dibuktikan
dengan para tokoh ulama Islam yang menepati kampung Lokojoyo. Kampung Lokojoyo
banyak disegani oleh masyarakat sekitar karena mempunyai kharisma tetang
penyebaran Islam pertama di wilayah Banyuputih. Bila ditinjau dari jaman wali
songo penyebaran Islam di dukuh Lokojoyo merupakan hasil perkembangan pada masa
selanjutnya.
Cikal Bakal Lokojoyo
Lokojoyo merupakan perkampungan yang
sudah lama keberadaanya merupakan kampung yang unik karena mengandung nilai
sejarah dalam penyebaran agama Islam didesa Banyuputih. Pada zaman dahulu kala Lokojoyo
merupakan bagian dari Alas Pagetakan yang tempatnya wingit belum berpenghuni
dan belum ada perkampungan. Alas Pagetakan terletak sebelah selatan dari Alas
Roban. Dalam perjalanan zaman, Alas Pagetakan yang wingit mulai dijadikan
pembuka perkampungan oleh para tokoh penyebar agama Islam sebagai babad alas
cikal bakal perkampungan Lokojoyo awal. Lokojoyo merupakan tempat perkampungan
yang strategis tanahnya subur dekat dengan aliran sungai dan terdapat mata air
jernih yang diyakini peninggalan Waliyullah.
Alas Pagetakan yang masih
wingit mulai dijadikan perkampungan sejak sekitar tahun 1641 oleh Sunan Jati
Bonjor. Perkampungan awal ini masih sederhana mempunyai penghuni masyarakat
yang masih sedikit tetapi dalam perkembangan perkampungan Lokojoyo selanjutnya
banyak ulama yang berjuang mensyiarkan agama Islam untuk berdakwah di Lokojoyo.
Ulama ini merupakan pendatang untuk mensyiarkan Islam di Alas Pagetakan
meneruskan ulama terdahulu yang sudah wafat. Kenapa Lokojoyo dijadikan
perjuangan syiar agama Islam kemungkinan karena petilasan Waliyullah Maulana
Ibrahim Asmoro qondi yang pertama memberi tetenger cikal bakal perkampungan
nantinya setelah itu diteruskan Sunan Jati Bonjor untuk membuka kampung Lokojoyo
kemudian dilanjutkan para sesepuh ulama yang lainnya.
Lokojoyo dijadikan tempat
persinggahan para tokoh seperti Sunan Jati Bonjor dan sesepuh lainnya merupakan
perkampungan yang unik karena di kampung ini para tokoh ulama sesepuhnya
merupakan keturunan dari daerah wilayah barat seperti Cirebon dan daerah
wilayah timur seperti daerah Demak, Gresik, Tuban. Lokojoyo merupakan
perkampungan pertemuan dari trah Cirebon dan trah Demak, Gresik, serta Tuban. Hal
ini bisa dilihat dari silsilah riwayat hidupnya. Mereka tokoh syiar Islam di Lokojoyo
ini masih saudara karena riwayat silsilahnya masih berhubungan satu sama lainnya
dan masih saudara dekat. Pertemuan mereka para tokoh ulama ini terjadi di Lokojoyo
sebagai tempat syiar islam. Memang awalnya dimulai oleh Sunan Jati Bonjor
sebagai peletak dasar pendirian perkampungan Lokojoyo.
Menurut sumber sesepuh mereka
masih saudara yang mempunyai kerakatan keluarga dekat :
v Hubungan Raden Syarif Umar dan KH. R.M. Abdul Syukur.
Raden Sastro Kusumo kakeknya KH. R.M Abdul Syukur
adalah keturunan ayahnya Raden Syarif Umar. Berarti KH. R.M Abdul Syukur adalah
cucunya Raden Syarif Umar.
v Hubungan Raden Sangkur Umar dan KH. R.M Abdul Syukur.
Siti Barokah ibu dari KH. R.M Abdul Syukur adalah
adiknya Raden Sangkur Umar / Suparbo Wijoyo. Berarti KH. R.M Abdul Syukur
adalah keponakan Suparbo Wijoyo.
v Hubungan Raden Umar Syahid dengan Raden Sangkur Umar.
Raden Sangkur Umar / Suparbo Wijoyo masih keponakannya
Raden Umar Syahid. Raden Umar Syahid masih keturunan yang ke 6 dari kanjeng
Sunan Kalijogo Demak.
v Hubungan Raden Umar Syahid dengan KH. R.M Abdul Syukur.
Ibunya KH. R.M Abdul Syukur adalah adiknya Suparbo
Wijoyo. Dan Suparbo Wijoyo adalah keponakan Raden Umar Syahid berarti KH. R.M
Abdul Syukur masih cucunya Raden Umar Syahid.
v Hubungan Raden Syaidina Umar Malik dengan KH. R.M
Abdul Syukur.
Ibunya Raden Syaidina Umar Malik yang bernama Dewi
Gondowati adalah masih kakaknya ibunya
KH. R.M Abdul Syukur yang bernama Siti Barokah. Berarti KH. R.M Abdul Syukur
masih adiknya Raden Syaidina Umar Malik / Patih Lokojoyo. Dewi Gondowati masih
keturunan Syeh Maulana Malik Ibrahim.
v Hubungan Patih Lokojoyo dengan Suparbo Wijoyo.
Ibunya Suparbo Wijoyo yang bernama Dewi Sri Kusumo
adalah masih keponakan ayahnya Patih Lokojoyo yang bernama Raden Kusumo Jinggo.
Raden Kusumo Jinggo masih keturunan Adipati Tuban.
v Hubungan KH. R.M Abdul Syukur dengan Kyai A. Khasan.
Mbokwone kakaknya Kyai A. Khasan yang bernama Siti
Maemunah adalah istrinya Raden Abdul Dhofa putra dari KH. R.M Abdul Syukur.
Dari kerakatan keluarga itu kelihatan kalau para ulama
sesepuh terdahulu masih satu jalur silsilah keluarganya. Mereka datang ke Lokojoyo
tidak bersamaan tapi mempunyai periode waktu berbeda-beda. Perjuangan Ulamak
terdahulu dalam
berdakwah, menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang pribumi
Lokojoyo.
Yakni melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan kebiasaan tradisi setempat.
Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan memenuhi
kebutuhan masyarakat Lokojoyo.
Banyak tokoh yang menggunakan
nama Raden yang berasal dari nama Rahadian yang berarti Tuanku itu menunjukan
bahwa orang tersebut masih keturun bangsawan. Hal ini berarti tokoh tersebut
bukan orang sembarangan bukan dari orang biasa tetapi seorang bangsawan jawa.
Sejarah perkampungan Lokojoyo
dahulu didirikan oleh para tokoh yang berjuang dalam syiar Islam. Tokoh ulama
tersebut berjuang mengajak masyarakat perkampungan pribumi tersebut dengan
damai untuk memeluk agama Islam. Tokoh Ulama tersebut yaitu : Waliyullah
Maulana Ibrahim Asmoro qondi, Raden
Syarif Umar (Sunan Jati Bonjor), Nyai Ageng Pandansari, Raden Umar Syahid (Kyai
Gatok Lokojoyo), Raden Syaidina Umar Malik (Patih Lokojoyo), Raden Sangkur Umar
(Raden Suparbo Wijoyo) dan Raden KH. M. Abdul Syukur.
Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi
Ayah Sunan Ampel
Munculnya Mata air Tuk Dandang
yang tidak pernah kering merupakan cikal awal mula dari tongkat Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi ayah Sunan Ampel yang ditancapkan
ketanah. Cerita yang bersumber dari sesepuh dahulu kala Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi dalam perjalanan
syiar Islam melewati Alas Pagetakan yang lebat hendak menjalankan ibadah
shalat. Sampailah mbah Waliyullah tiba dipinggir sungai untuk berwudu dengan
menancapkan tongkatnya keluarlah air jernih untuk bersuci. Sumber mata air ini
terletak di pinggir aliran sungai. Air jernih yang keluar dari tongkat ini
tidak pernah keruh walaupun diterjang banjir tetap akan jernih. Tempat Sholat Waliyullah
bersujud diatas batu yang sampai sekarang batu pasujutan sunan belum ketemu
masih gaib keberadaannya..
Nama
Tuk Dandang sendiri berasal dari dandang emas yang di jaga oleh setan tekor
sebagai penguasa disekitar sungai tuk dandang tersebut yang terkenal wingit dan
ganas. Setan tersebut sangat ditakuti pada suatu hari datanglah Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi yang dapat
mengalahkan menaklukan kesaktian setan tersebut. Penaklukan setan tekor membawa
perubahan wilayah kekuasaannya yang tadi terkenal karena wingit, ganas sekarang
lebih bersahaja.
Gambar 1 : Mata Air Tuk Dandang yang
lokasinya berada di Dukuh Lokojoyo
Rt. 04 sebelah pojok kidul.
Sumber
mata air tuk dandang sekarang digunakan masyarakat untuk mandi dan mencuci.
Karena ini peninggalan karomah Waliyullah ada juga orang luar yang memanfaatkan
mengambil airnya untuk sarana penyembuhan atau spiritual.
Menurut
cerita turun temurun ada nasehat orang tua dahulu jangan pernah mandi atau bermain
datang ke tuk Dandang siang hari pada waktu Dhuhur karena akan terlihat
penampakan orang berjubah putih sedang wudhu di tuk Dandang.
Tongkat
yang ditancapkan oleh Waliyullah
Maulana Ibrohim Asmoro qondi sebagai cikal awal
mula bakal Lokojoyo yang pada waktu itu masih hutan belantara belum ada seorang
yang menempati. Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi melanjutkan perjalanan
syiar islam dengan meninggalkan tongkat yang tertancap keluar air jernih tuk Dandang
sebagai tetenger yang nantinya akan muncul perkampungan.
Nama lengkap
Ibrahim Asmoro Qondi adalah Ibrahim bin Jamaludddin Akbar bin Ahmad
Jamaludddin. Dia dikenal sebagai ayah Sunan Ampel. Jika Sunan Ampel datang
dari Cempa, sementara di belakang nama ayahnya ada nisbat Asmoro Qondi, sebuah
daerah di dekat Bukhara Rusia, berarti Ibrahim adalah pendatang dari Samarqand.
Kapan ke Jawa sampai saat ini masih belum terungkap. Ibrahim Asmoro Qondi meninggal
dimakamkan di Gesikharjo Tuban, Dalam beberapa serat, nama
Ibrahim sering disebut sebagai Syarif Auliya’ dan Syekh Makhdum Ibrahim Asmoro.
Cerita legenda tentang Maulana Ibrahim Asmoro qondi di kampong Lokojoyo
masih bersifat turun temurun oleh masyarakat keterikatan antar riwayat beliau
belum terungkap masih misteri hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Raden Syarif Umar ( Sunan Jati Bonjor )
Babad Alas Kampung Lokojoyo
Tokoh syiar islam keturunan
Cirebon lahir dari keluarga Raden Wirotikno Ningrat dan Dewi Asmoro. Ayah Raden
Syarif Umar merupakan keturunan dari Adipati Cirebon ke III dan merupakan
silsilah keturunan dari Sunan Gunung Jati.
Raden
Syarif Umar merupakan murid dari sang Syekh Jati Luhur di Banten belajar agama
selama 7 tahun kemudian pergi ke Pasikarang berguru kepada Syekh Mutohar di
Banten selama 10 tahun. Berbekal ilmu yang dimilikinya, dia
berniat syiar islam
kedaerah-daerah. Syekh
Mutohar memberi wejangan Raden Syarif Umar diperintahkan supaya bertapa di batu
Paseban Ki Ageng Prayogo selama 3 bulan. Dalam pertapaannya Raden Syarif Umar
didatangi oleh kakek tua yang bernama Syekh Dawud, berwasiat supaya datang ke
suatu tempat yang bernama Alas Pagetakan. Apabila sudah sampai di Alas
Pagetakan supaya babad alas dan membuat perkampungan untuk syiar agama islam
dengan nama Lokojoyo.
Raden Syarif Umar pun mematuhi wasiat Syekh Dawud, dan berangkatlah mencari tempat yang bernama Alas Pagetakan. Dia dibekali segenggam tanah yang digunakan sebagai ciri dari tanah tujuan tempat dimana daerah kampung syiar agamanya. Dengan pengetahuan yang diberikan gurunya dan kemauan keras, Raden Syarif Umar berusaha dengan sekuat tenaga mengembara ke wilayah Alas Roban yang masih wingit sampai keselatan untuk mencari Alas Pagetakan. Beberapa kali dia menemukan tanah yang cirinya mirip dengan tanah yang dia bawa. Namun dia baru menemukan Alas Pagetakan dengan tanah yang dimaksud sesuai dengan ciri cikal bakal perkampungan Lokojoyo.
Raden Syarif Umar menemukan daerah yang nantinya dijadikan syiar islam dengan nama Lokojoyo. Setelah menetap di Lokojoyo sesuai amanat Syekh Dawud ternyata disitu ada mata air yang merupakan Karomah dari Waliyullah Maulana Ibrahim Asmoro Qondi yang sangat bermanfaat.
Raden Syarif Umar pun mematuhi wasiat Syekh Dawud, dan berangkatlah mencari tempat yang bernama Alas Pagetakan. Dia dibekali segenggam tanah yang digunakan sebagai ciri dari tanah tujuan tempat dimana daerah kampung syiar agamanya. Dengan pengetahuan yang diberikan gurunya dan kemauan keras, Raden Syarif Umar berusaha dengan sekuat tenaga mengembara ke wilayah Alas Roban yang masih wingit sampai keselatan untuk mencari Alas Pagetakan. Beberapa kali dia menemukan tanah yang cirinya mirip dengan tanah yang dia bawa. Namun dia baru menemukan Alas Pagetakan dengan tanah yang dimaksud sesuai dengan ciri cikal bakal perkampungan Lokojoyo.
Raden Syarif Umar menemukan daerah yang nantinya dijadikan syiar islam dengan nama Lokojoyo. Setelah menetap di Lokojoyo sesuai amanat Syekh Dawud ternyata disitu ada mata air yang merupakan Karomah dari Waliyullah Maulana Ibrahim Asmoro Qondi yang sangat bermanfaat.
Penduduk pribumi sudah mulai menepati wilayah sekitar
situs mata air, Raden Sarif Umar melakukan dakwah syiar agama dikampung
Lokojoyo tersebut sampai wafat di tempat ini. Makam Raden Sarif Umar berada di
dekat pohon Jati yang usianya sangat tua oleh penduduk disebut sebagai makam
Sunan Jati Bonjor. Sekarang posisi makam beliau berada ditengah-tengah
pemakaman umum.
Diperkirakan Raden Sarif Umar atau Sunan Jati Bonjor mulai datang ketempat ini tahun 1641 sampai meninggal tahun 1671. Beliau berjuang mensyiarkan agama Islam sampai 30 tahun di Kampung Lokojoyo. Sunan Jati Bonjor belum terungkap tentang meninggalkan silsilah keturunan di kampong Lokojoyo sampai sekarang.
Diperkirakan Raden Sarif Umar atau Sunan Jati Bonjor mulai datang ketempat ini tahun 1641 sampai meninggal tahun 1671. Beliau berjuang mensyiarkan agama Islam sampai 30 tahun di Kampung Lokojoyo. Sunan Jati Bonjor belum terungkap tentang meninggalkan silsilah keturunan di kampong Lokojoyo sampai sekarang.
Gambar 2 : Makam Raden Syarif Umar atau Sunan Jati Bonjor
tempatnya di pemakaman umum Lokojoyo ditemukan oleh Ustad. Muklis dari Sukorejo
sekitar tahun 2005.
Raden Syarif Umar diberi gelar nama lain dengan
sebutan Sunan Jati Bonjor karena keturunan dari Sunan Gunung Jati dari Cirebon
beliau membawa gelar leluhurnya. Nama Bonjor sendiri berasal ketika beliau
mondok belajar ilmu agama karena seringnya beliau menebang bambu dia dijuluki
Bonjor nama lain dari ruas bambu.
Putri Pandansari (Nyai Dapu Boja)
Penguasa Wilayah Pandansari Rt. 02 Lokojoyo
Gambar 3 : Makam Putri Pandansari tempatnya di belakang Mushola
Rt 02 Lokojoyo ditemukan oleh Ustad. Muklis dari Sukorejo sekitar tahun 2005.
Putri
Pandansari adalah anak dari Ki Mode Pandan atau Ki Ageng Pandanaran I,
keturunan Pangeran Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, dari Kerajaan Demak. Dia
adalah adik kandung Ki Ageng Pandanaran II, bupati Semarang pertama.
Putri Pandansari merupakan tokoh ulama
perempuan yang berjuang menyebarkan Islam datang ke kampong Lokojoyo tahun 1675
sampai 1701. Putri Pandansari sebelum
sampai ke kampong Lokojoyo beliau babad kampong di desa Boja Kendal dengan nama
Ni Pandansari atau Nyai Dapu.
Dikutip dari sejarah Boja, sepeninggal kakanya Raden
Pandanaran, Ni Pandansari berkeinginan untuk menyusul jejak kakaknya tersebut
dengan mengajak pengawal dan abdi kinasihnya bernama Wonobodro dan Wonosari
(terkenal dengan sebutan Ki Wonobodro dan Ki Wonosari). Karena sewaktu akan
meninggalkan adiknya tersebut Ki Ageng Pandanaran hanya berpesan akan
menyebarkan agama Islam di daerah ke arah selatan, maka pengertian Ni
Pandansari bahwa daerah selatan Semarang daerah yang bernama Blimbing Segulung,
disitulah kakaknya berada. Sehingga pada suatu ketika rombongan Ni Pandansari
sampailah di daerah tersebut yang ternyata perguruan agama (pesantren) dipimpin
oleh Ki Jiwaraga. Dan pada saat itulah Ni Pandansari beserta pengikutnya
memutuskan untuk diangkat sebagai murid di perguruan tersebut, yang secara
langsung dengan suka hati diterima oleh Ki Jiwaraga.
Putri Pandansari merupakan gadis perempuan baru menginjak dewasa
(diceritakan bahwa Ni Pandansari adalah seorang remaja tergolong berparas
cantik dan menawan). Suatu
ketika di perguruan tersebut kedatangan seorang pemuda nan gagah perkasa,
utusan dari Keraton Cirebon bernama Ki Dhapuraja (konon masih
keturunan Sultan Cirebon) dan ikut berguru agama Islam di Perguruan Blimbing
Segulung tersebut. Ada pepatah witing tresno jalaran saking kulino, maka kedua
sejoli antara Ni Pandansari dengan Ki Dhapuraja timbul saling cinta mencintai
dan berkat petunjuk Allah, maka kedua sejoli tersebut oleh Ki Jiwaraga
dinikahkan dan hidup sebagai suami isteri.
Pada
suatu ketika Ni Pandansari dan Ki Dhapuraja berpamitan kepada Ki Jiwaraga
untuk hidup mandiri, kemudian kedua suami isteri tersebut pergi ke arah utara
dengan diikuti oleh para pengiringnya termasuk abdi kinasihnya. Dan membuka
daerah baru untuk tempat penyebaran agama Islam sekaligus untuk tempat tinggal
(kini tempat tersebut disebut waqaf (langgar waqaf), karena di atasnya berdiri
bangunan langgar. Karena kesulitan air untuk keperluan keluarga dan keperluan
lainnya, maka Ni Pandansari mengajak suaminya untuk membuat saluran air yang
airnya diambil dari sendang Sebrayut, namun suaminya tidak sanggup. Sehingga
pembuatan saluran dilaksanakan sendir oleh Ni Pandansari dengan cara; Menggeret
setagen (Bhs Jawa : Bengkung) dan atas izin Allah air mengalir mengikuti arah
stagen/bengkung yang ditarik sampai di lokasi. Oleh karena Ni Pandansari juga
dikenal dengan sebutan Nyai Dapu, maka saluran tersebut sampai sekarang juga
disebut se Dapu. Saluran se Dapu sampai sekarang dimanfaatkan oleh warga
masyarakat Boja untuk
keperluan sehari-hari dan untuk pertanian.
Nyai Dapu atau Putri Pandansari tempat menyebar agama
islam tibalah di kampong Lokojoyo kemudian mendirikan wilayah sebelah timur
kampong lokojoyo yang sekarang lokasinya di Rt 02. Putri Pandansari mulai
mensyiarkan agama Islam karena didaerah tersebut banyak ditumbuhi tanaman
pandan maka wilayahnya dikenal dengan sebutan nama Pandansari seperti nama
beliau.
Makam
Putri Pandansari terdapat di sebelah Mushola Rt 02 Rw 02 Dukuh Lokojoyo. Makam ini masih misterius karena masih bersifat cerita turun temurun dari sesepuh
kampong.
Sejarah
pemetaan wilayah kampong terdahulu Lokojoyo terdiri dari wilayah Gedogan,
wilayah Pandansari, wilayah Mrunten dan Lokojoyo. Wilayah ini merupakan bagian
perkampungan lama yang dalam perkembangannya bisa menyatu dengan sebutan
Kampung Lokojoyo.
Menurut
cerita turun temurun ramalan wejangan sesepuh Dukuh Lokojoyo akan Berjaya pada
masanya nanti ketika lahir anak yatim kembar laki-laki yang bisa membawa dukuh
Lokojoyo disegani oleh desa lainnya. Anak yatim kembar ini merupakan keturunan
dari pendiri leluhur kampong Lokojoyo. Anak yatim kembar ini yang bisa
mengambil benda-benda pusaka leluhur Lokojoyo penerus syiar Islam serta desa yang dikenal
sederhana tetapi maju, dihormati oleh desa lain.
Raden Umar Syahid (Kyai Gatok Lokojoyo) dan
Raden Syaidina Umar Malik (Patih Lokojoyo)
Legenda Gento Lokojoyo
Raden Umar Sahid lahir
di Demak dari pasangan Raden Wirotejo dan Dewi Sri Wulandari pada usia 17 tahun
berguru dipadepokan Ki Ageng Gede Pamitir Sumpret Demak. Beliau berguru
dipadepokan tersebut belajar olah kanuragan selama 5 tahun setelah itu belajar
agama di podok pesantren Jati Wangi daerah Tuban Jawa Timur dengan Syekh Abu
Tolib selama 8 tahun. Karena merasa belum puas belajar ilmu kanuragan dan agama
Raden Umar Sahid mengembara lagi pinda ke pesantren Ki prabu Mayangkoro Jawa
Timur selama 15 tahun.
Raden Umar Sahid pada waktu nyantri di
pesantren beliau diberi nama Kyai Gatok Silang Pamitri. Beliau pernah berguru
kepada Kanjeng Sunan Kalijaga selama 10 tahun. Di dalam pertapaannya Kyai Gatok
Silang Pamitri di temui Sunan Kalijaga supaya pergi ke daerah yang bernama
Lokojoyo, untuk meneruskan perjuangan Sunan Jati Bonjor yang telah wafat.
Lokasi yang
ditujuh adalah sebelah selatan Alas Roban yang bernama Alas Pagetakan beliau
menemukan tempatnya yaitu diperkampungan tempat Sunan Jati Bonjor wafat. Dengan
tekad yang bulat akhirnya sekitar tahun 1676 datang ke kampong Lokojoyo. Kyai Gatok Silang
Pamitri karena menetap di Kampung Lokojoyo lebih dikenal dengan Kyai Gatok
Lokojoyo.
Pada
tahun 1677 datanglah sahabat Raden Umar Syahid ke Lokojoyo yaitu Raden Syaidina
Umar Malik atau di kenal dengan Patih Lokojoyo. Raden Syaidina Umar Malik
dilahirkan di Gresik dari pasangan Raden Kumoro Jinggo dengan Dewi Gondo Wati.
Silsilah beliau dari Ayahnya merupakan keturunan dari Adipati Tuban dan dari
Ibunya keturunan dari Syekh Maulana Malik Ibrahim. Beliau Syaidina Umar Malik
berguru di pesantren Ki Prabu Mayangkoro di Jawa Timur selama 18 tahun untuk
belajar Kanuragan dan ilmu agama. Setelah dianggap cukup beliau berguru lagi ke
daerah Mataram.
Pertemuan
Raden Umar Sahid dan Raden Syaidina Umar Malik terjadi pada waktu mondok
belajar ilmu bersama-sama satu berguruan pada Ki Prabu Mayangkoro di Jawa
Timur. Akhirnya pada suatu hari Raden Syaidina Umar Malik disuruh gurunya untuk
membantu berjuang syiar islam di Lokojoyo menyusul Raden Umar Syahid. Dengan
saling bekerjasama akhirnya masyarakat pada waktu itu bisa mengenal agama Islam
dengan baik.
Raden
Syaidina Umar malik dikenal dengan Patih Lokojoyo yang mempunyai kesaktian Iket
Wulung. Beliau diberi gelar Patih karena beliau dari golongan bangsawan, karena
tinggal di kampong Lokojoyo maka di sebut sebagai Patih Lokojoyo. Usia beliau
tinggal di kampong lokojoyo sangat singkat sekitar 2 tahun karena pada tahun
1679 Patih Lokojoyo wafat di panggil Allah SWT.
Gambar 6 : Makam Raden Umar Syahid
(Kyai Gatok Lokojoyo) dan Raden Syaidina Umar Malik (Patih Lokojoyo) yang
lokasinya di Dukuh Lokojoyo Rt. 04 ditemukan oleh Ustd. Muklis dari Sukorejo
sekitar tahun 2005.
Sepeninggalan dari Patih Lokojoyo kemudian Kyai Gatok
Lokojoyo berjuang membangun masyarakat Lokojoyo yang lebih baik. Beliau Kyai
Gatok Lokojoyo mempunyai peran penting dalam sejarah kampong Lokojoyo yang
terkenal ceritanya sampai turun temurun. Perjuangan beliau dengan ilmu hikmah memperbaiki
akhlak yang buruk kejalan terpuji, bersedekah dan mensejahterahan masyarakat
dengan syiar agama Islam.
Alkisah pada waktu itu masyarakat pribumi kampong
Lokojoyo dilanda kelaparan dan banyak masyarakat miskin yang tertindas karena
banyak orang kaya sombong yang tidak mau bersedekah kepada orang miskin. Maka
Kyai Gatok Lokojoyo melihat masyarakatnya miskin dan banyak yang kelaparan beliau
mencari cara menyelamatkan masyarakat peribumi kampong Lokojoyo. Kyai Gatok
Lokojoyo mempunyai taktik penyamaran dengan sembunyi sembunyi membantu
masyarakat miskin yang kelaparan dengan memberinya makan. Penyamaran beliau di
juluki sebagai Gento Lokojoyo. Dijuluki
Gentho
Lokojoyo
karena
perampok tukang nolong wong ngelih (menolong orang miskin).
Gentho
Lokojoyo
maling aguno perampok
yang sangat baik membela rakyat miskin, dengan merampok orang kaya raya yang sombong tidak mau bersedekah,
dan hasil rampokannya diberikan kepada rakyat miskin dengan sembunyi-sembunyi.
Perilaku Gento
Lokojoyo ini membuat
banyak orang merasa cemas khususnya orang Kaya raya, karena sudah banyak korban
akibat ulah perbuatannya. Kesaktian Gento Lokojoyo terkenal ditakuti
sampai kewilayah kampong lain karena belum pernah tertangkap dan sifat terpuji
bijaksana maling aguno bagi rakyat
miskin yang kelaparan. Dengan adanya Gento Lokojoyo banyak orang kaya bertaubat
sadar menjadi rendah hati untuk bersedekah membagi hartanya ke orang miskin.
Perjuangan Kyai Gatuk atau Gento Lokojoyo selanjutnya dalam
syiar agama Islam dengan cara mengajak kebaikan sesuai ajaran agama Islam.
Sebelum kedatangan Kyai Gatuk di kampong Lokojoyo sudah ada orang pintar yang
namanya Jamaludi atau Amaludin. Perilaku Jamaludin tidak sesuai dengan aturan
agama menganut ajaran seperti Syekh Siti Jenar, maka Kyai Gatok Lokojoyo atau
Gento Lokojoyo memberi nasehat, tetapi Jamaludin tidak bisa dinasehati dengan
halus. Terpaksa Kyai Gatuk Lokojoyo menasihatinya dengan cara lain untuk
mendekati Jamaludin. Kyai Gatuk Lokojoyo mempunyai cara untuk sambung ayam
sebagai siasat untuk mengalahkan Jamaludin. Sebelum sambung dimulai, diadakanlah satu
perjanjian, bahwa barangsiapa yang kalah dalam sambung ayam tersebut, harus
tunduk kepada yang menang.
Dengan kelebihan dan keunggulan ayam masing-masing, maka pertarungan pun dimulai. Pertarungan ayam jago itu sangat ramai, karena jago Gento Lokojoyo memiliki keistimewaan dan kekuatan yang sudah dikenal masyarakat luas. Gento Lokojoyo ayam jago petarungnya Ireng Nggalih tapi diganti jago Macan Putih yang berubah menjadi Ayam Widu Awar-awar yang merupak ayam sambung terhebat. Demikian juga jago dari Jamaludin bernama ayam jago Abang Pinetas, bukanlah jago yang sembarang jago, namun jago spesial sambung.
Pertarungan sambung ayam tidak seimbang sang Gento memakai ayam jelmaan dari macan putih dapat mengalahkan ayam Abang Pinetas. Dalam waktu yang cukup lama akhirnya persambungan ayam itu pun selesai. Sebagai pemenangnya adalah jago Sang Gento Lokojoyo. Maka sesuai dengan perjanjian Jamaludin harus tunduk pada Sang Gento Lokojoyo. Jamaludin mengingkari perjanjian karena mengetahui kalau Ayam Widu Awar-awar merupakan jelmaan dari Macan Putih.
Dengan kelebihan dan keunggulan ayam masing-masing, maka pertarungan pun dimulai. Pertarungan ayam jago itu sangat ramai, karena jago Gento Lokojoyo memiliki keistimewaan dan kekuatan yang sudah dikenal masyarakat luas. Gento Lokojoyo ayam jago petarungnya Ireng Nggalih tapi diganti jago Macan Putih yang berubah menjadi Ayam Widu Awar-awar yang merupak ayam sambung terhebat. Demikian juga jago dari Jamaludin bernama ayam jago Abang Pinetas, bukanlah jago yang sembarang jago, namun jago spesial sambung.
Pertarungan sambung ayam tidak seimbang sang Gento memakai ayam jelmaan dari macan putih dapat mengalahkan ayam Abang Pinetas. Dalam waktu yang cukup lama akhirnya persambungan ayam itu pun selesai. Sebagai pemenangnya adalah jago Sang Gento Lokojoyo. Maka sesuai dengan perjanjian Jamaludin harus tunduk pada Sang Gento Lokojoyo. Jamaludin mengingkari perjanjian karena mengetahui kalau Ayam Widu Awar-awar merupakan jelmaan dari Macan Putih.
Gambar 7 : ilustrasi Sambung Ayam jago
Widu Awar-awar Gento Lokojoyo dengan Ayam Jago Abang Pinetas Jamaludin.
Sang Jamaludin
merasa tidak menerima kemenangan Gento Lokojoyo, maka terjadilah
perkelahian yang berlangsung sengit. Gento Lokojoyo yang ora tedas tapak
paluning pande, dan Sang Jamaludin
yang dapat menjelma menjadi mahkluk
lain menambah serunya pertempuran. Gento mengalami luka berat, ususnya terburai
keluar dijadikan kalung oleh Gento Lokojoyo. Namun karena kesaktian Gento, dia masih bertahan hidup.
Menurut sumber cerita turun temurun sesepuh kampong tempat pertarungan Gento Lokojoyo dan Jamaludin
ini sekarang dinamakan Lokojoyo, yang berasal dari kata luka dan jaya,
artinya walaupun Gento Lokojoyo sudah terluka parah namun dia masih dapat
bertahan hidup. Sedangkan Sang Jamaludin pergi ke daerah sebelah Barat Kampung Lokojoyo
sekarang dinamakan daerah Pranji. Dinamakan Pranji karena pada zamannya daerah
tersebut sebagai tempat Kurungan ayam Jamaludin. Sedangkan menurut sumber sejarah nama Lokojoyo
berasal dari Riyadhoh atau tapa dari Sunan Jati Bonjor sebagai babad alas cikal
bakal kampong Lokojoyo pertama jadi nama Lokojoyo sudah ada di kampong Lokojoyo
setelah peristiwa Gento Lokojoyo tersebut.
Tinjauan
sejarah dari sesepuh ada yang mengatakan bahwa Gento Lokojoyo dan Jamaludin
setelah beradu kesaktian beliau masih hidup sampai kemudian Gento Lokojoyo
menghilang mekerem (ilang tanpo rogo)
disebelah timur jembatan kali Lokojoyo dia menghilang tidak tau kemana. Ayam
widu awar-awar pun sering muncuk keberadaannya di sekitar jembatan kali
Lokojoyo tersebut menurut masyarakat sewaktu-waktu ayam widu tersebut bisa
berubah menjadi macan putih. Ayam widu awar-awar tersebut bisa menampakan diri
pada orang-orang tertentu yang mempunyai daya spiritual.
Raden Sangkur Umar
(Raden Suparbo Wijoyo)
Gambar 8 : Makam Raden Sangkur Umar
(Raden Suparbo Wijoyo) yang lokasinya ada di Dukuh Lokojoyo Rt 03 ditemukan
oleh Pak Mukminin dari Amongrogo tahun 2005.
Raden Sangkur Umar
merupakan kelahiran Demak dari keluarga Raden Kumoro dan Dewi Sri Kusumo. Raden
Sangkur Umar merupakan masih saudara dari Patih Lokojoyo karena ibunya
merupakan keponakan dari Raden Kusumo Jinggo keturunan Adipati Tuban.
Raden
Sangkur Umar merupakan murid dari Sunan Giri. Beliau mondok di pesantren Sunan
Giri setelah selesai dari pesantren supaya mengembara ke berbagai daerah,
selama 15 tahun. Raden Sangkur Umar pulang ke Demak setelah sampai dilokasi
beliau menemukan selembar kertas, yang isinya supaya beliau pergi ke Alas Pagetakan
untuk meneruskan perjuangan Raden Umar Syahid di Lokojoyo.
Raden
Sangkur Umar datang ke kampung Lokojoyo adalah atas suruhan Sunan Kalijaga
lewat surat. Beliau mulai datang ke kampung Lokojoyo diperkirakan tahun 1684
sampai 1706. Raden sangkur Umar merupakan ulama arif dan bijaksana yang datang ke
Lokojoyo untuk berusaha mengajak Gento Lokojoyo untuk berbuat baik untuk
mensyiarkan Islam, demi terwujudnya hidup yang tentram dan damai sesuai
tuntutan agama.
Raden
Sangkur Umar mensyiarkan agama islam sejaman dengan Gento Lokojoyo. Beliau
melanjutkan perjuangan Gento Lokojoyo yang kemudian dijuluki Kyai Gatok
Lokojoyo yang telah wafat. Perjuangan syiar islam di Lokojoyo dijalaninya
dengan bekal ilmu agama beliau mulai mengajar para santri dengan tabah dan
sabar. Setelah melewati perjuangan yang amat panjang akhirnya pada hari Senin
Pahing tahun 1706 beliau dipanggil oleh Allah SWT dan dimakamkan di Dukuh
Lokojoyo.
Setelah Raden Suparbo Wijoyo wafat
sampai kurun waktu satu abad Dukuh Lokojoyo mengalami kekosongan ulama, tetapi
masyaraknya sudah mengenal ajaran Agama Islam dengan baik. Masyarakat Dukuh
Lokojoyo hidup damai Syiar agama Islam telah merata dianut peribumi Lokojoyo.
Raden KH. M. Abdul Syukur
Gambar 9 : Makam Raden KH. M. Abdul
Syukur yang lokasinya ada di pemkaman umum Dukuh Lokojoyo ditemukan oleh Pak
Mukminin dari Amongrogo tahun 1997.
Raden
KH. M. Abdul Syukur merupakan keturunan dari keluarga Raden A. Murtadho dan
Siti Barokah. Ayahnya merupakan keturunan Raden Sastro Kusumo dan siti Asmoro.
Raden
KH. M. Abdul Syukur merupakan ulama tokoh syiar islam di Lokojoyo yang sampai
sekarang masih ada keturunan sililahnya dikampung Lokojoyo. Raden KH. M. Abdul
Syukur diwaktu usia masih muda beliau berpamitan kepada kedua orang tuanya
untuk mencari ilmu agama. Beliau pertama mondok di Curug Pamungkas Jawa Timur
dibawah asuhan Ki Ageng Jenggot Sajoyo, pada waktu itu berumur 15 tahun. Dengan
tekun beliau belajar dipondok itu selama 5 tahun Ki Ageng Jenggot Sajoyo
berwasiat supaya pergi ketanah Cirebon, untuk menimba ilmu dipondok pesantren
Ki Ageng Jenggot Sayuto. Dengan niat pasti beliau menempuh perjalanan ketanah
Cirebon dan dididik selama 2 tahun karena sesudah itu Ki Ageng Jenggot Sayuto
wafat. Setelah itu beliau kembali lagi ke Jawa Timur, selama 1 tahun, beliau
dididik lagi oleh Ki Ageng Jenggot Sajoyo.
Pada
waktu itu Ki Ageng Jenggot Sajoyo wafat meninggalkan pesan kepada Abdul Syukur
supaya pergi ke tanah Banten untuk berguru kepada Ki Ageng Jagat Wilantoro.
Dengan berbekal ilmu akhirnya beliau dengan berjalan kaki pergi ketanah Banten.
Setelah sampai di Banten beliau dididik selama 7 tahun. Setelah dianggap cukup
akhirnya beliau diperintahkan menyebar islam kedukuh Lokojoyo yang telah
ditinggalkan oleh Raden Syaidina Umar Malik.
Pada
tahun 1832 Raden KH. M. Abdul Syukur datang sampai di Lokojoyo beliau isaroh
dan ditemui oleh Raden Syarif Umar setelah menetap di Lokojoyo beliau mulai
membimbing bab agama Islam. Semakin hari banyak yang menyantri kepada beliau.
Dan akhirnya beliau membuat pondok untuk belajar para santri.
Haji Abdul Syukur menikah dengan Siti Safilah mempunyai dua anak yaitu Raden Abdul Dhofa dan Siti
Sujinah. Anak pertama Raden Abdul Dhofa
menikah dengan Siti Maimunah. Anak gadis yang kedua bernama Siti Sujinah
menikah dengan Kyai Mas’ud seorang ulama yang mendirikan Masjid Kranji
Petamanan. Keturunan Raden KH. M. Abdul
Syukur sampai sekarang menyebar di dukuh Lokojoyo dan dukuh Petamana.
Keturunan
Raden Abdul Dhofa yang menikah dengan Siti Maemunah dikaruniai 6 (enam) anak mereka
adalah 1) Jiyah, 2) Saderi, 3) Bonjor, 4) Laseh, 5) Tuji dan 6) Jambari. Semua
Raden Abdul Dhofa menurunkan keturunan hingga anak cucu yang ada di Dukuh
Lokojoyo.
Menurut
sumber babad Petamanan Raden KH. M. Abdul Syukur dijuluki sebagai Haji Platuk
karena pada waktu berangkat menjalankan ibadah Haji ke Makkah dengan membawa
bekal burung Platuk. Di sepanjang perjalanan pergi hajinya beliau
mempertunjukkan kemampuan burung Platuknya.
Babad
Petamanan dikisahkan bahwa dalam proses pembangunan masjid Kranji oleh Kyai
Mas’ud karena kegigihannya maka KH. Abdul Syukur tertarik dengan pemuda
Petamanan. KH. Abdul Syukur berkeinginan menjodohkan anak gadisnya Siti Sujinah
dengan pemuda Mas’ud yang sedang berjuang mensyiarkan Islam di Petamanan. Pembangunan
Masjid Kranji berjalan lancar dengan bantuan logistik dari KH. Abdul Syukur. Walau belum sempurna, masjid
telah dapat digunakan sebagai tempat beribadah. Mereka membutuhkan seorang yang
mempunyai suara cukup merdu dan lantang sebagai muadzin (tukang adzan), maka
diangkatlah pemuda Ya’qub sebagai muadzin yang berasal dari Lokojoyo.
Akhirnya
pemuda Mas’ud menjadi menantu KH. Abdul Syukur
dengan mempersunting Siti Sujinah
sebagai istrinya. Kehidupan
Kyai Mas’ud
menjadi semakin bahagia dengan karunia anak-anak yang shalih-shalihah. Buah
pernikahan Mas’ud dan Siti Sujinah
menurunkan 6 (enam) orang putra yang terdiri 3 (tiga) laki-laki dan 3 (tiga)
perempuan. Mereka adalah 1) Yusuf, 2) Markonah, 3) Muhammad Asror, 4) Zaenab,
5) Khabib, dan 6) Maesaroh. Semua keturunan Kyai Mas’ud dan Siti Sujinah menetap
di Dukuh Petamana hingga anak cucunya.
Raden
KH. M. Abdul Syukur meninggalkan sebuah Bokor yang sampai sekarang masih
dipelihara oleh keturunannya yang masih ada di dukuh Lokojoyo. Pada hari Minggu
Kliwon tahun 1862 beliau dipanggil oleh Allah SWT dimakamkan di tempat
pemakaman umum dukuh Lokojoyo.
Gambar 10 :
Peninggalan KH. Abdul Syukur berupa Bokor sebuah tempat air terbuat dari logam
kuningan sekarang benda tersebut berada di rumah Bapak Riono di Lokojoyo Rt 03.
Kyai A. Khasan
Setelah
KH. Abdul syukur wafat akhirnya diteruskan oleh Kyai A. Khasan yang pada waktu
itu mondok di Mataram selama 5 tahun dan di Blitar selama 3 tahun. Setelah itu
Kyai A. Khasan disuruh pulang kekampung halaman yaitu Lokojoyo. Kyai A. Khasan
meneruskan perjuangan KH. Abdul Syukur dan merupakan masih kerabat kyai.
Menelisik sejarah selanjutnya syiar islam di
Lokojoyo tidak lepas dari perkembangan tempat ibadah yang jaman dahulu
dinamakan Langgar atau surau. Langgar,
surau, atau mushala mengandung pengertian sebagai bangunan untuk tempat ibadah
bagi umat Islam dalam ukuran yang relatif kecil dan sederhana, lebih kecil
ukurannya dibandingkan masjid. Pada masa lalu ketika penduduk belum begitu
banyak, surau atau langgar sudah dapat menampung atau mencukupi kebutuhan
peribadatan warga sekitar atau setempat.
Langgar awal merupakan
sederhana berbentuk panggung terdapat pada zaman Kyai A. Khasan di depan
rumahnya. Langgar panggung Kyai A. Khasan dibuat dengan bahan bambu yang
umumnya dikerjakan dengan sederhana. Disamping
langgar, ada pula rumah Kyai A. Khasan yang dijadikan sebagai tempat menimba ilmu
pengetahuan agama Islam zaman itu.
Langgar panggung yang
didirikah oleh Kyai A. Khasan merupakan
langgar pertama yang berada di kampong Lokojoyo. Lokasi langgar awal bila
ditinjau zaman sekarang berada di depan rumah Mbah Sahud atau mbah Mismi di Rt
04 Lokojoyo karena rumah itu merupakan peninggalan dari keturunan Kyai A.
Khasan.
Langgar ini dulu berfungsi
sebagai tempat ibadah dan tempat menimba ilmu pendidikan Islam bagi para
santri. Kyai A. Khasan merupakan ulama
mempunyai santri bernama Mbah Musdai bapaknya Ramadi Dalang. Kyai A. Khasan
membuat tempat wudhu terbuat dari tanah liat berupa gentong yang sampai
sekarang masih ada.
Mbah
Kyai A. Khasan meninggal dunia sepeninggalannya Langgar panggung di kelola mbah
Musdai. Hingga saat ini, langgar tersebut sudah tidak ada lagi bekasnya.
Menurut sumber sebagian sesepuh, sepeninggalnya mbah Musdai langgar panggung
karena terbuat dari kayu oleh masyarakat dengan gotong-royang diangkat
bersama-sama di pindahan ke depan rumah mbah Jambari bapaknya Munawar. Mbah
Jambari merupakan yang meneruskan perjuangan Kyai A. Khasan dan mbah Musdai. Di
tempat langgar mbah Jambari di jadikan sebagai tempat menimba ilmu agama islam
atau guru ngaji.
Terjadi
beberapa kali perpindahan langgar panggung ini karena pada zamannya langgar ini
merupakan dijadikan tempat ibadah dan sebagai tempat ngaji. Langgar di pindah
ketempat yang lebih dekat dengan guru ngajinya supaya para santri dalam
menuntut ilmu agama lebih mudah jadi langgar dijadikan tempat wahana dakwah
belajar agama.
Perkembangan
selanjutnya Langgar panggung dikelola oleh Pak Lebe Sunari bapaknya Turyono
setelah mbah Jumbari meninggal kemudian dipindahkan lagi lokasinya di depan
rumah Pak Monasim. Sepeninggalan Pak Lebe Sunari meninggal dunia kemudian
Langgar panggung di pindahkan secara gotongroyong oleh masyarakat ke tempat
Mbah Tumiah ibunya pak Diro yang merupakan tempat yang strategis berada di
tengah-tengah kampong Lokojoyo. Dalam perkembangannya Langgar panggung karena
sudah berusia lama maka kayunya lapuk. Masyarakat memugarnya menjadi Masjid
yang di beri nama Al Ikhlas. Masjid Al Ikhlas Lokojoyo sekarang berdiri megah
di tengah kampong sebagai sentral umat islam dalam beribadah di kampong.
Masjid Al
Ikhlas Lokojoyo, menurut sejarah Masjid ini dimulai dari sebuah Langgar yaitu tempat ibadah sementara
yang daya tampungnya hanya sekitar puluhan orang, kemudian dijadikan basis
penyebaran Agama Islam dan sebagai tempat
pusat ibadah umat islam dikampung Lokojoyo.
Sekarang
kampong Lokojoyo selain berdiri masjid Al Ikhlas juga media dakwah dan agama
disetiap Rt dibangun langgar atau mushola. Setelah berdirinya masjid langgar
selanjutnya dibangun adalah mushola di Rt 08 merupakan dulu sebagai media ngaji
mbah musdai, selanjutnya dibangun mushola Rt 03, Mushola Rt 01 dan Mushola Rt
02.
Dukuh
Lokojoyo merupakan pedukuhan sederhana semoga lebih berjaya maju dalam perkembangan
syiar agama islam dapat dihormati oleh desa lainnya.
Gambar 11 : Sejarah Masjid Al Ikhlas
Lokojoyo yang telah dipugar menjadi Modern yang jaman dahulu sebagai media
dakwah berbentuk langgar panggung.
PERKEMBANGAN SYIAR ISLAM DI LOKOJOYO
PERKEMBANGAN SYIAR ISLAM DI LOKOJOYO
ANALISIS
Cerita mengenai sejarah Dukuh Lokojoyo diatas merupakan salah
satu bentuk folklore. yang termasuk dalam bentuk folklor lisan. Disebut folklor
lisan karena penyebarannya dilakukan secara lisan dari mulut ke mulut antar
generasi. Legenda
mengenai sejarah Dukuh
Lokojoyo didalamnya terkandung ciri-ciri suatu folklor, yaitu: sejarah Dukuh Lokojoyo disebarkan
secara lisan dan bersifat tradisional karena disebarkan secara kolektif dan
dalam waktu yang cukup lama. Bersifat pra logis, memiliki logika sendiri, tidak
sesuai dengan logika umum, karena legende ini bisa dikatakan hanya menganut apa
yang dikatakan (diceritakan) para sesepuh desa.
Sejarah Dukuh
Lokojoyo termasuk dalam bentuk legende, yang menceritakan asal-usul
berdirinya suatu wilayah yaitu Dukuh
Lokojoyo. Legende tersebut diatas menceritakan tentang dukuh Lokojoyo yang didirikan oleh para Waliyullah Lokojoyo
yaitu Sunan Ibrahim
asmoroqondi, Raden Syarif Umar (Sunan
Jati Bonjor), Putri Pandansari, Raden Umar Syahid (Kyai Gatok Lokojoyo), Raden
Syaidina Umar Malik (Patih Lokojoyo), Raden Sangkur Umar (Suparbo Wijoyo) dan
Raden KH. M. Abdul Syukur. Ia menyebarkan agama Islam seperti
yang dilakukan oleh para Wali
Songo memiliki pribadi yang sederhana, pemimpin yang dihormati oleh
masyarakatnya dan tidak senang dipuja. Nama dukuh Lokojoyo adalah hasil dari Riyadhoh atau tapa Raden Syarif Umar
atau Sunan Jati Bonjor sebagai babad alas cikal bakal Lokojoyo. Perkembangan
zaman tempat pertarungan
Gento Lokojoyo dan Jamaludin
dinamakan Lokojoyo, yang berasal dari kata luka dan jaya, artinya
walaupun Gento Lokojoyo sudah terluka parah namun dia masih dapat bertahan
hidup. Nama Lokojoyo tersebut mengandung harapan
agar dukuh Lokojoyo
kedepannya lebih berjaya, yaitu diantaranya agar agama Islam
semakin berkembang di desa tersebut, serta desa yang dikenal sederhana tetapi
maju, dihormati oleh desa lain.
Fungsi yang terkandung dalam legende ini juga memuat fungsi –fungsi
folklore didalamnya. Antara lain fungsi pencerminan angan-angan, dengan adanya nama Lokojoyo maka
diharapkan (angan-angan) agar Dukuh
Lokojoyo kedepannya memiliki citra yang baik di mata
masyarakat Dukuh Lokojoyo
sendiri, serta masyarakat lain. Legende ini juga memiliki fungsi sebagai alat
pendidikan, dengan sosok Waliyullah
Lokojoyo, diharapkan anggota masyarakat dukuh Lokojoyo bisa menjaga Syiar Islam bisa berjaya dimasanya.