Monday, May 11, 2015

BABAD LOKOJOYO




BABAD ALAS CIKAL BAKAL LOKOJOYO

STUDI SEJARAH MAKAM WALIYULLAH LOKOJOYO

DALAM SYIAR ISLAM DI DUKUH LOKOJOYO



Pada zaman dahulu ada cerita rakyat terjadi di lingkungan Dukuh Lokojoyo Kelurahan Banyuputih Kecamatan Banyuputih. Ternyata Ditempat itu ada beberapa makam yang dikeramatkan yang dianggap sebagai pepunden sesepuh Lokojoyo diantaranya makam Raden Syarif Umar (Sunan Jati Bonjor), Putri Pandansari, Raden Umar Syahid (Kyai Gatok Lokojoyo), Raden Syaidina Umar Malik (Patih Lokojoyo), Raden Sangkur Umar (Raden Suparbo Wijoyo) dan Raden KH. M. Abdul Syukur.

Lokojoyo merupakan pedukuhan bagian dari desa Banyuputih Kecamatan  Banyuputih Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. Dukuh Lokojoyo ini dilihat dari lokasi tempatnya dikelilingi oleh :
Sebelah Timur        : Dukuh Kayen Desa Kalibalik
Sebelah Selatan      : Dukuh Jati Rejo (Bakal) Desa Luwung
Sebelah Barat         : Dukuh Petamanan Desa Banyuputih
Sebelah Utara        : Dukuh Sidorejo (Bubakan) Desa Banyuputih
Lokojoyo sendiri merupakan pedukuhan dengan tanah subur di karena disebelah timur dan baratnya diapit aliran sungai dan  wangan. Sejarah kampung Lokojoyo sendiri merupakan perkampungan yang unik karena mempunyai nama yang melegenda.
Asal Muasal Nama Lokojoyo
Kampung Lokojoyo merupakan kampung lama yang mempunyai makna dan arti. Nama kampung Lokojoyo sendiri tidak sembarangan dalam memberi nama karena mempunyai nilai sejarah awal muawal pemberian nama. Dalam penulisan kampung sendiri ada yang mengatakan dengan tulisan Lokajaya atau Lokojoyo.
Definisi menurut kamus Bahasa arti Lokojoyo berasal dari kata Loka dan Jaya yaitu :
No.
Nama
Asal Bahasa
Arti Nama
1.
Tempat / dunia
2.
Loka
jawa
Tempat, Panggonan
3.
Loka

Letak, Lokasi
4.
Kemenangan yang hebat, kuat
5.
Kesuksesan, kejayaan, unggul
6.
Menang, berjaya
7.
kemenangan, berhasil
8.
Sifat pengasih dan penyayang

Bila kita lihat dari definisi Bahasa diatas nama Lokojoyo yang berasal dari kata Loka dan Jaya mempunyai kesimpulan arti bahwa Kampung Lokojoyo merupakan tempat atau panggonan untuk kemenangan yang hebat sebagai  lokasi  kejayaan yang memiliki sifat pengasih dan penyayang. Kampung ini bernama Lokojoyo artinya tempat kemenangan.
Nama kampung Lokojoyo menurut masyarakat dari beberapa versi :
Nama Lokojoyo sendiri banyak yang mengartikan berasal dari nama besar Sunan Kalijaga yang diberi julukan Berandal Lokajaya. Sunan Kalijaga diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’. Sunan Kalijaga adalah putra dari Bupati Tuban VIII Raden Tumenggung Haryo Wilotikto.

Brandal Loka Jaya (Sejarah dari Sunan Kalijaga)

Sunan Kalijaga dikenal sebagai Brandal Loka Jaya, karena sebelum jadi Wali Sunan Kalijaga adalah brandal (preman) yang suka mencuri hasil kekayaan Kadipaten Tuban. Namun, hasil curian tersebut untuk para Fakir Miskin. Lama-kelamaan, perbuatan tersebut diketahui oleh ayah Sunan Kalijaga dan diusir dari Kadipaten Tuban. Dalam pengasingannya, Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga) bertemu dengan Sunan Bonang. Sunan Bonang memiliki Tongkat emas yang membuat Raden Syahid menjadi ingin memiliki tongkat tersebut. Sesaat kemudian, Sunan Kalijaga merebut tongkat emas dan Sunan Bonang jatuh tersungkur. Sunan Bonang menangis dan Sunan Kalijaga merasa iba. Akhirnya Sunan Kalijaga mengembalikan Tongkat Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga bertanya bagian mana yang membuat beliau kesakitan. Namun, Sunan Bonang menangis bukan karena kesakitan, tapi beliau menangis karena memutuskan rumput dan beliau berkata bahwa beliau merasa kasihan karena rumput yang tidak bersalah harus mati tercabut karena kesalahan beliau. Sesaat kemudian, beliau menancapkan Tongkat di Pesisir dan menyemburkan air. Tempat tersebut dinamai Sumur Srumbung. Setelah itu, Sunan Bonang menunjukkan Buah Aren yang berwarna emas. Raden Syahidpun tergoda dan memanjat pohon aren tersebut, tapi sebuah aren menimpa kepala beliau dan beliaupun pingsan. Setelah sadar, Raden Syahid diajak Sunan Bonang menuju Sungai di daerah Sekardadi Kecamatan Jenu. Di sana, beliau menjaga tongkat Sunan Bonang yang ditancapkan pada sebuah batu. Anehnya, beliau tertidur selama 2 tahun. setelah sadar, Raden Syahid diberi pakaian dhalang oleh Sunan Bonang dan di Juluki Sunan Kalijaga, maksudnya Kali dalam bahasa Indonesia berarti sungai, dan Jaga dimaksudkan karena sudah menjaga tongkat Sunan Bonang.
Nama kampung Lokojoyo di desa Banyuputih merupakan kampung kemungkinan bukan bagian dari Sejarah Sunan Kalijaga hanya memang merupahan hasil dari Riyandhoh atau tapa dari Raden Syarif Umar (Sunan Jati Bonjor)
Kampung Lokojoyo ini merupakan perkampungan menggunakan nama yang melegenda untuk menelisik sejarah awal kampung ini berdiri, perlu memahami beberapa pendapat dari para sesepuh kampung. Dari beberapa masyarakat atau sesepuh mengatakan bahwa Kampung Lokojoyo merupakan hasil dari Riyandhoh atau tapa dari Raden Syarif Umar atau Sunan Jati Bonjor sebagai pembabad alas cikal bakal kampung Lokojoyo.
Legenda lisan leluhur selanjutnya nama Lokojoyo diambil dari tempat pertarungan Gento Lokojoyo dengan Jamaludin, yang berasal dari kata Luka (terluka) dan Jaya (masih hidup) artinya walaupun Gento Lokojoyo terluka parah namun dia masih hidup karena kesaktiannya. Gento Lokojoyo yang suka merampok orang kaya tetapi bijaksana dalam membagikan harta rampasannya untuk rakyat yang kelaparan. Versi Legenda lisan lemah karena nama kampung Lokojoyo sudah ada sejak Sunan Jati Bonjor dan merupakan hasil Riyandhoh atau tapa untuk babad alas kampung Lokojoyo.
Cikal bakal babad alas Lokojoyo pertama merupakan sebagai perkampungan penyebar agama Islam hal ini dibuktikan dengan para tokoh ulama Islam yang menepati kampung Lokojoyo. Kampung Lokojoyo banyak disegani oleh masyarakat sekitar karena mempunyai kharisma tetang penyebaran Islam pertama di wilayah Banyuputih. Bila ditinjau dari jaman wali songo penyebaran Islam di dukuh Lokojoyo merupakan hasil perkembangan pada masa selanjutnya.

Cikal Bakal Lokojoyo
Lokojoyo merupakan perkampungan yang sudah lama keberadaanya merupakan kampung yang unik karena mengandung nilai sejarah dalam penyebaran agama Islam didesa Banyuputih. Pada zaman dahulu kala Lokojoyo merupakan bagian dari Alas Pagetakan yang tempatnya wingit belum berpenghuni dan belum ada perkampungan. Alas Pagetakan terletak sebelah selatan dari Alas Roban. Dalam perjalanan zaman, Alas Pagetakan yang wingit mulai dijadikan pembuka perkampungan oleh para tokoh penyebar agama Islam sebagai babad alas cikal bakal perkampungan Lokojoyo awal. Lokojoyo merupakan tempat perkampungan yang strategis tanahnya subur dekat dengan aliran sungai dan terdapat mata air jernih yang diyakini peninggalan Waliyullah.
Alas Pagetakan yang masih wingit mulai dijadikan perkampungan sejak sekitar tahun 1641 oleh Sunan Jati Bonjor. Perkampungan awal ini masih sederhana mempunyai penghuni masyarakat yang masih sedikit tetapi dalam perkembangan perkampungan Lokojoyo selanjutnya banyak ulama yang berjuang mensyiarkan agama Islam untuk berdakwah di Lokojoyo. Ulama ini merupakan pendatang untuk mensyiarkan Islam di Alas Pagetakan meneruskan ulama terdahulu yang sudah wafat. Kenapa Lokojoyo dijadikan perjuangan syiar agama Islam kemungkinan karena petilasan Waliyullah Maulana Ibrahim Asmoro qondi yang pertama memberi tetenger cikal bakal perkampungan nantinya setelah itu diteruskan Sunan Jati Bonjor untuk membuka kampung Lokojoyo kemudian dilanjutkan para sesepuh ulama yang lainnya.
Lokojoyo dijadikan tempat persinggahan para tokoh seperti Sunan Jati Bonjor dan sesepuh lainnya merupakan perkampungan yang unik karena di kampung ini para tokoh ulama sesepuhnya merupakan keturunan dari daerah wilayah barat seperti Cirebon dan daerah wilayah timur seperti daerah Demak, Gresik, Tuban. Lokojoyo merupakan perkampungan pertemuan dari trah Cirebon dan trah Demak, Gresik, serta Tuban. Hal ini bisa dilihat dari silsilah riwayat hidupnya. Mereka tokoh syiar Islam di Lokojoyo ini masih saudara karena riwayat silsilahnya masih berhubungan satu sama lainnya dan masih saudara dekat. Pertemuan mereka para tokoh ulama ini terjadi di Lokojoyo sebagai tempat syiar islam. Memang awalnya dimulai oleh Sunan Jati Bonjor sebagai peletak dasar pendirian perkampungan Lokojoyo.
Menurut sumber sesepuh mereka masih saudara yang mempunyai kerakatan keluarga dekat :
v  Hubungan Raden Syarif Umar dan KH. R.M. Abdul Syukur.
Raden Sastro Kusumo kakeknya KH. R.M Abdul Syukur adalah keturunan ayahnya Raden Syarif Umar. Berarti KH. R.M Abdul Syukur adalah cucunya Raden Syarif Umar.
v  Hubungan Raden Sangkur Umar dan KH. R.M Abdul Syukur.
Siti Barokah ibu dari KH. R.M Abdul Syukur adalah adiknya Raden Sangkur Umar / Suparbo Wijoyo. Berarti KH. R.M Abdul Syukur adalah keponakan Suparbo Wijoyo.
v  Hubungan Raden Umar Syahid dengan Raden Sangkur Umar.
Raden Sangkur Umar / Suparbo Wijoyo masih keponakannya Raden Umar Syahid. Raden Umar Syahid masih keturunan yang ke 6 dari kanjeng Sunan Kalijogo Demak.
v  Hubungan Raden Umar Syahid dengan KH. R.M Abdul Syukur.
Ibunya KH. R.M Abdul Syukur adalah adiknya Suparbo Wijoyo. Dan Suparbo Wijoyo adalah keponakan Raden Umar Syahid berarti KH. R.M Abdul Syukur masih cucunya Raden Umar Syahid.
v  Hubungan Raden Syaidina Umar Malik dengan KH. R.M Abdul Syukur.
Ibunya Raden Syaidina Umar Malik yang bernama Dewi Gondowati adalah masih kakaknya  ibunya KH. R.M Abdul Syukur yang bernama Siti Barokah. Berarti KH. R.M Abdul Syukur masih adiknya Raden Syaidina Umar Malik / Patih Lokojoyo. Dewi Gondowati masih keturunan Syeh Maulana Malik Ibrahim.
v  Hubungan Patih Lokojoyo dengan Suparbo Wijoyo.
Ibunya Suparbo Wijoyo yang bernama Dewi Sri Kusumo adalah masih keponakan ayahnya Patih Lokojoyo yang bernama Raden Kusumo Jinggo. Raden Kusumo Jinggo masih keturunan Adipati Tuban.
v  Hubungan KH. R.M Abdul Syukur dengan Kyai A. Khasan.
Mbokwone kakaknya Kyai A. Khasan yang bernama Siti Maemunah adalah istrinya Raden Abdul Dhofa putra dari KH. R.M Abdul Syukur.
Dari kerakatan keluarga itu kelihatan kalau para ulama sesepuh terdahulu masih satu jalur silsilah keluarganya. Mereka datang ke Lokojoyo tidak bersamaan tapi mempunyai periode waktu berbeda-beda. Perjuangan Ulamak terdahulu dalam berdakwah, menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang pribumi Lokojoyo. Yakni melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan kebiasaan tradisi setempat. Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan memenuhi kebutuhan masyarakat Lokojoyo.

Banyak tokoh yang menggunakan nama Raden yang berasal dari nama Rahadian yang berarti Tuanku itu menunjukan bahwa orang tersebut masih keturun bangsawan. Hal ini berarti tokoh tersebut bukan orang sembarangan bukan dari orang biasa tetapi seorang bangsawan jawa.
Sejarah perkampungan Lokojoyo dahulu didirikan oleh para tokoh yang berjuang dalam syiar Islam. Tokoh ulama tersebut berjuang mengajak masyarakat perkampungan pribumi tersebut dengan damai untuk memeluk agama Islam. Tokoh Ulama tersebut yaitu : Waliyullah Maulana Ibrahim Asmoro qondi, Raden Syarif Umar (Sunan Jati Bonjor), Nyai Ageng Pandansari, Raden Umar Syahid (Kyai Gatok Lokojoyo), Raden Syaidina Umar Malik (Patih Lokojoyo), Raden Sangkur Umar (Raden Suparbo Wijoyo) dan Raden KH. M. Abdul Syukur.


Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi
Ayah Sunan Ampel

Munculnya Mata air Tuk Dandang yang tidak pernah kering merupakan cikal awal mula dari tongkat Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi ayah Sunan Ampel yang ditancapkan ketanah. Cerita yang bersumber dari sesepuh dahulu kala Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi dalam perjalanan syiar Islam melewati Alas Pagetakan yang lebat hendak menjalankan ibadah shalat. Sampailah mbah Waliyullah tiba dipinggir sungai untuk berwudu dengan menancapkan tongkatnya keluarlah air jernih untuk bersuci. Sumber mata air ini terletak di pinggir aliran sungai. Air jernih yang keluar dari tongkat ini tidak pernah keruh walaupun diterjang banjir tetap akan jernih. Tempat Sholat Waliyullah bersujud diatas batu yang sampai sekarang batu pasujutan sunan belum ketemu masih gaib keberadaannya..
Nama Tuk Dandang sendiri berasal dari dandang emas yang di jaga oleh setan tekor sebagai penguasa disekitar sungai tuk dandang tersebut yang terkenal wingit dan ganas. Setan tersebut sangat ditakuti pada suatu hari datanglah Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi yang dapat mengalahkan menaklukan kesaktian setan tersebut. Penaklukan setan tekor membawa perubahan wilayah kekuasaannya yang tadi terkenal karena wingit, ganas sekarang lebih bersahaja.
Gambar 1 : Mata Air Tuk Dandang yang lokasinya berada di Dukuh Lokojoyo
Rt. 04 sebelah pojok kidul.
Sumber mata air tuk dandang sekarang digunakan masyarakat untuk mandi dan mencuci. Karena ini peninggalan karomah Waliyullah ada juga orang luar yang memanfaatkan mengambil airnya untuk sarana penyembuhan atau spiritual.
Menurut cerita turun temurun ada nasehat orang tua dahulu jangan pernah mandi atau bermain datang ke tuk Dandang siang hari pada waktu Dhuhur karena akan terlihat penampakan orang berjubah putih sedang wudhu di tuk Dandang.
Tongkat yang ditancapkan oleh Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi sebagai cikal awal mula bakal Lokojoyo yang pada waktu itu masih hutan belantara belum ada seorang yang menempati. Waliyullah Maulana Ibrohim Asmoro qondi melanjutkan perjalanan syiar islam dengan meninggalkan tongkat yang tertancap keluar air jernih tuk Dandang sebagai tetenger yang nantinya akan muncul perkampungan.
Nama lengkap Ibrahim Asmoro Qondi adalah Ibrahim bin Jamaludddin Akbar bin Ahmad Jamaludddin. Dia dikenal sebagai ayah Sunan Ampel. Jika Sunan Ampel datang dari Cempa, sementara di belakang nama ayahnya ada nisbat Asmoro Qondi, sebuah daerah di dekat Bukhara Rusia, berarti Ibrahim adalah pendatang dari Samarqand. Kapan ke Jawa sampai saat ini masih belum terungkap. Ibrahim Asmoro Qondi meninggal dimakamkan di Gesikharjo Tuban, Dalam beberapa serat, nama Ibrahim sering disebut sebagai Syarif Auliya’ dan Syekh Makhdum Ibrahim Asmoro.
Cerita legenda tentang Maulana Ibrahim Asmoro qondi di kampong Lokojoyo masih bersifat turun temurun oleh masyarakat keterikatan antar riwayat beliau belum terungkap masih misteri hanya Allah yang Maha Mengetahui.


Raden Syarif Umar ( Sunan Jati Bonjor )
Babad Alas Kampung Lokojoyo

Tokoh syiar islam keturunan Cirebon lahir dari keluarga Raden Wirotikno Ningrat dan Dewi Asmoro. Ayah Raden Syarif Umar merupakan keturunan dari Adipati Cirebon ke III dan merupakan silsilah keturunan dari Sunan Gunung Jati.
Raden Syarif Umar merupakan murid dari sang Syekh Jati Luhur di Banten belajar agama selama 7 tahun kemudian pergi ke Pasikarang berguru kepada Syekh Mutohar di Banten selama 10 tahun. Berbekal ilmu yang dimilikinya, dia berniat syiar islam kedaerah-daerah. Syekh Mutohar memberi wejangan Raden Syarif Umar diperintahkan supaya bertapa di batu Paseban Ki Ageng Prayogo selama 3 bulan. Dalam pertapaannya Raden Syarif Umar didatangi oleh kakek tua yang bernama Syekh Dawud, berwasiat supaya datang ke suatu tempat yang bernama Alas Pagetakan. Apabila sudah sampai di Alas Pagetakan supaya babad alas dan membuat perkampungan untuk syiar agama islam dengan nama Lokojoyo.
Raden Syarif Umar pun mematuhi wasiat Syekh Dawud, dan berangkatlah mencari tempat yang bernama Alas Pagetakan. Dia dibekali segenggam tanah yang digunakan sebagai ciri dari tanah tujuan tempat dimana daerah kampung syiar agamanya. Dengan pengetahuan yang diberikan gurunya dan kemauan keras, Raden Syarif Umar berusaha dengan sekuat tenaga mengembara ke wilayah Alas Roban yang masih wingit sampai keselatan untuk mencari Alas Pagetakan. Beberapa kali dia menemukan tanah yang cirinya mirip dengan tanah yang dia bawa. Namun dia baru menemukan Alas Pagetakan dengan tanah yang dimaksud sesuai dengan ciri cikal bakal perkampungan Lokojoyo. 
Raden Syarif Umar menemukan daerah yang nantinya dijadikan syiar islam dengan nama Lokojoyo. Setelah menetap di Lokojoyo sesuai amanat Syekh Dawud ternyata disitu ada mata air yang merupakan Karomah dari Waliyullah Maulana Ibrahim Asmoro Qondi yang sangat bermanfaat.
Penduduk pribumi sudah mulai menepati wilayah sekitar situs mata air, Raden Sarif Umar melakukan dakwah syiar agama dikampung Lokojoyo tersebut sampai wafat di tempat ini. Makam Raden Sarif Umar berada di dekat pohon Jati yang usianya sangat tua oleh penduduk disebut sebagai makam Sunan Jati Bonjor. Sekarang posisi makam beliau berada ditengah-tengah pemakaman umum.
Diperkirakan Raden Sarif Umar atau Sunan Jati Bonjor mulai datang ketempat ini tahun 1641 sampai meninggal tahun 1671. Beliau berjuang mensyiarkan agama Islam sampai 30 tahun di Kampung Lokojoyo. Sunan Jati Bonjor belum terungkap tentang meninggalkan silsilah keturunan di kampong Lokojoyo sampai sekarang.

Gambar 2 : Makam Raden Syarif Umar atau Sunan Jati Bonjor tempatnya di pemakaman umum Lokojoyo ditemukan oleh Ustad. Muklis dari Sukorejo sekitar tahun 2005.
Raden Syarif Umar diberi gelar nama lain dengan sebutan Sunan Jati Bonjor karena keturunan dari Sunan Gunung Jati dari Cirebon beliau membawa gelar leluhurnya. Nama Bonjor sendiri berasal ketika beliau mondok belajar ilmu agama karena seringnya beliau menebang bambu dia dijuluki Bonjor nama lain dari ruas bambu.

Putri Pandansari (Nyai Dapu Boja)
Penguasa Wilayah Pandansari Rt. 02 Lokojoyo

Gambar 3 : Makam Putri Pandansari tempatnya di belakang Mushola Rt 02 Lokojoyo ditemukan oleh Ustad. Muklis dari Sukorejo sekitar tahun 2005.
Putri Pandansari adalah anak dari Ki Mode Pandan atau Ki Ageng Pandanaran I, keturunan Pangeran Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, dari Kerajaan Demak. Dia adalah adik kandung Ki Ageng Pandanaran II, bupati Semarang pertama.
Putri Pandansari merupakan tokoh ulama perempuan yang berjuang menyebarkan Islam datang ke kampong Lokojoyo tahun 1675 sampai 1701.  Putri Pandansari sebelum sampai ke kampong Lokojoyo beliau babad kampong di desa Boja Kendal dengan nama Ni Pandansari atau Nyai Dapu.
Dikutip dari sejarah Boja, sepeninggal kakanya Raden Pandanaran, Ni Pandansari berkeinginan untuk menyusul jejak kakaknya tersebut dengan mengajak pengawal dan abdi kinasihnya bernama Wonobodro dan Wonosari (terkenal dengan sebutan Ki Wonobodro dan Ki Wonosari). Karena sewaktu akan meninggalkan adiknya tersebut Ki Ageng Pandanaran hanya berpesan akan menyebarkan agama Islam di daerah ke arah selatan, maka pengertian Ni Pandansari bahwa daerah selatan Semarang daerah yang bernama Blimbing Segulung, disitulah kakaknya berada. Sehingga pada suatu ketika rombongan Ni Pandansari sampailah di daerah tersebut yang ternyata perguruan agama (pesantren) dipimpin oleh Ki Jiwaraga. Dan pada saat itulah Ni Pandansari beserta pengikutnya memutuskan untuk diangkat sebagai murid di perguruan tersebut, yang secara langsung dengan suka hati diterima oleh Ki Jiwaraga.
Putri Pandansari merupakan gadis perempuan baru menginjak dewasa (diceritakan bahwa Ni Pandansari adalah seorang remaja tergolong berparas cantik dan menawan). Suatu ketika di perguruan tersebut kedatangan seorang pemuda nan gagah perkasa, utusan dari Keraton Cirebon bernama Ki Dhapuraja (konon masih keturunan Sultan Cirebon) dan ikut berguru agama Islam di Perguruan Blimbing Segulung tersebut. Ada pepatah witing tresno jalaran saking kulino, maka kedua sejoli antara Ni Pandansari dengan Ki Dhapuraja timbul saling cinta mencintai dan berkat petunjuk Allah, maka kedua sejoli tersebut oleh Ki Jiwaraga dinikahkan dan hidup sebagai suami isteri.
Pada suatu ketika Ni Pandansari dan Ki Dhapuraja berpamitan kepada Ki Jiwaraga untuk hidup mandiri, kemudian kedua suami isteri tersebut pergi ke arah utara dengan diikuti oleh para pengiringnya termasuk abdi kinasihnya. Dan membuka daerah baru untuk tempat penyebaran agama Islam sekaligus untuk tempat tinggal (kini tempat tersebut disebut waqaf (langgar waqaf), karena di atasnya berdiri bangunan langgar. Karena kesulitan air untuk keperluan keluarga dan keperluan lainnya, maka Ni Pandansari mengajak suaminya untuk membuat saluran air yang airnya diambil dari sendang Sebrayut, namun suaminya tidak sanggup. Sehingga pembuatan saluran dilaksanakan sendir oleh Ni Pandansari dengan cara; Menggeret setagen (Bhs Jawa : Bengkung) dan atas izin Allah air mengalir mengikuti arah stagen/bengkung yang ditarik sampai di lokasi. Oleh karena Ni Pandansari juga dikenal dengan sebutan Nyai Dapu, maka saluran tersebut sampai sekarang juga disebut se Dapu. Saluran se Dapu sampai sekarang dimanfaatkan oleh warga masyarakat Boja untuk keperluan sehari-hari dan untuk pertanian.
Nyai Dapu atau Putri Pandansari tempat menyebar agama islam tibalah di kampong Lokojoyo kemudian mendirikan wilayah sebelah timur kampong lokojoyo yang sekarang lokasinya di Rt 02. Putri Pandansari mulai mensyiarkan agama Islam karena didaerah tersebut banyak ditumbuhi tanaman pandan maka wilayahnya dikenal dengan sebutan nama Pandansari seperti nama beliau.
Makam Putri Pandansari terdapat di sebelah Mushola Rt 02 Rw 02 Dukuh Lokojoyo. Makam ini masih misterius karena masih bersifat cerita turun temurun dari sesepuh kampong.

Gambar 4 : Peta Wilayah Perkampungan Lokojoyo Awal
Sejarah pemetaan wilayah kampong terdahulu Lokojoyo terdiri dari wilayah Gedogan, wilayah Pandansari, wilayah Mrunten dan Lokojoyo. Wilayah ini merupakan bagian perkampungan lama yang dalam perkembangannya bisa menyatu dengan sebutan Kampung Lokojoyo.
Gambar 5 : Peta Dukuh Lokojoyo sekarang
Menurut cerita turun temurun ramalan wejangan sesepuh Dukuh Lokojoyo akan Berjaya pada masanya nanti ketika lahir anak yatim kembar laki-laki yang bisa membawa dukuh Lokojoyo disegani oleh desa lainnya. Anak yatim kembar ini merupakan keturunan dari pendiri leluhur kampong Lokojoyo. Anak yatim kembar ini yang bisa mengambil benda-benda pusaka leluhur Lokojoyo penerus syiar Islam serta desa yang dikenal sederhana tetapi maju, dihormati oleh desa lain.


Raden Umar Syahid (Kyai Gatok Lokojoyo) dan
Raden Syaidina Umar Malik (Patih Lokojoyo)
Legenda Gento Lokojoyo

          Raden Umar Sahid lahir di Demak dari pasangan Raden Wirotejo dan Dewi Sri Wulandari pada usia 17 tahun berguru dipadepokan Ki Ageng Gede Pamitir Sumpret Demak. Beliau berguru dipadepokan tersebut belajar olah kanuragan selama 5 tahun setelah itu belajar agama di podok pesantren Jati Wangi daerah Tuban Jawa Timur dengan Syekh Abu Tolib selama 8 tahun. Karena merasa belum puas belajar ilmu kanuragan dan agama Raden Umar Sahid mengembara lagi pinda ke pesantren Ki prabu Mayangkoro Jawa Timur selama 15 tahun.
          Raden Umar Sahid pada waktu nyantri di pesantren beliau diberi nama Kyai Gatok Silang Pamitri. Beliau pernah berguru kepada Kanjeng Sunan Kalijaga selama 10 tahun. Di dalam pertapaannya Kyai Gatok Silang Pamitri di temui Sunan Kalijaga supaya pergi ke daerah yang bernama Lokojoyo, untuk meneruskan perjuangan Sunan Jati Bonjor yang telah wafat.
          Lokasi yang ditujuh adalah sebelah selatan Alas Roban yang bernama Alas Pagetakan beliau menemukan tempatnya yaitu diperkampungan tempat Sunan Jati Bonjor wafat. Dengan tekad yang bulat akhirnya sekitar tahun 1676 datang ke kampong Lokojoyo. Kyai Gatok Silang Pamitri karena menetap di Kampung Lokojoyo lebih dikenal dengan Kyai Gatok Lokojoyo.
Pada tahun 1677 datanglah sahabat Raden Umar Syahid ke Lokojoyo yaitu Raden Syaidina Umar Malik atau di kenal dengan Patih Lokojoyo. Raden Syaidina Umar Malik dilahirkan di Gresik dari pasangan Raden Kumoro Jinggo dengan Dewi Gondo Wati. Silsilah beliau dari Ayahnya merupakan keturunan dari Adipati Tuban dan dari Ibunya keturunan dari Syekh Maulana Malik Ibrahim. Beliau Syaidina Umar Malik berguru di pesantren Ki Prabu Mayangkoro di Jawa Timur selama 18 tahun untuk belajar Kanuragan dan ilmu agama. Setelah dianggap cukup beliau berguru lagi ke daerah Mataram.
Pertemuan Raden Umar Sahid dan Raden Syaidina Umar Malik terjadi pada waktu mondok belajar ilmu bersama-sama satu berguruan pada Ki Prabu Mayangkoro di Jawa Timur. Akhirnya pada suatu hari Raden Syaidina Umar Malik disuruh gurunya untuk membantu berjuang syiar islam di Lokojoyo menyusul Raden Umar Syahid. Dengan saling bekerjasama akhirnya masyarakat pada waktu itu bisa mengenal agama Islam dengan baik.
Raden Syaidina Umar malik dikenal dengan Patih Lokojoyo yang mempunyai kesaktian Iket Wulung. Beliau diberi gelar Patih karena beliau dari golongan bangsawan, karena tinggal di kampong Lokojoyo maka di sebut sebagai Patih Lokojoyo. Usia beliau tinggal di kampong lokojoyo sangat singkat sekitar 2 tahun karena pada tahun 1679 Patih Lokojoyo wafat di panggil Allah SWT.
Gambar 6 : Makam Raden Umar Syahid (Kyai Gatok Lokojoyo) dan Raden Syaidina Umar Malik (Patih Lokojoyo) yang lokasinya di Dukuh Lokojoyo Rt. 04 ditemukan oleh Ustd. Muklis dari Sukorejo sekitar tahun 2005.
Sepeninggalan dari Patih Lokojoyo kemudian Kyai Gatok Lokojoyo berjuang membangun masyarakat Lokojoyo yang lebih baik. Beliau Kyai Gatok Lokojoyo mempunyai peran penting dalam sejarah kampong Lokojoyo yang terkenal ceritanya sampai turun temurun. Perjuangan beliau dengan ilmu hikmah memperbaiki akhlak yang buruk kejalan terpuji, bersedekah dan mensejahterahan masyarakat dengan syiar agama Islam.
Alkisah pada waktu itu masyarakat pribumi kampong Lokojoyo dilanda kelaparan dan banyak masyarakat miskin yang tertindas karena banyak orang kaya sombong yang tidak mau bersedekah kepada orang miskin. Maka Kyai Gatok Lokojoyo melihat masyarakatnya miskin dan banyak yang kelaparan beliau mencari cara menyelamatkan masyarakat peribumi kampong Lokojoyo. Kyai Gatok Lokojoyo mempunyai taktik penyamaran dengan sembunyi sembunyi membantu masyarakat miskin yang kelaparan dengan memberinya makan. Penyamaran beliau di juluki sebagai Gento Lokojoyo. Dijuluki Gentho Lokojoyo karena perampok tukang nolong wong ngelih (menolong orang miskin). Gentho Lokojoyo maling aguno perampok yang sangat baik membela rakyat miskin, dengan merampok orang kaya raya yang sombong tidak mau bersedekah, dan hasil rampokannya diberikan kepada rakyat miskin dengan sembunyi-sembunyi.
Perilaku Gento Lokojoyo ini membuat banyak orang merasa cemas khususnya orang Kaya raya, karena sudah banyak korban akibat ulah perbuatannya. Kesaktian Gento Lokojoyo terkenal ditakuti sampai kewilayah kampong lain karena belum pernah tertangkap dan sifat terpuji bijaksana maling aguno bagi rakyat miskin yang kelaparan. Dengan adanya Gento Lokojoyo banyak orang kaya bertaubat sadar menjadi rendah hati untuk bersedekah membagi hartanya ke orang miskin.
Perjuangan Kyai Gatuk atau Gento Lokojoyo selanjutnya dalam syiar agama Islam dengan cara mengajak kebaikan sesuai ajaran agama Islam. Sebelum kedatangan Kyai Gatuk di kampong Lokojoyo sudah ada orang pintar yang namanya Jamaludi atau Amaludin. Perilaku Jamaludin tidak sesuai dengan aturan agama menganut ajaran seperti Syekh Siti Jenar, maka Kyai Gatok Lokojoyo atau Gento Lokojoyo memberi nasehat, tetapi Jamaludin tidak bisa dinasehati dengan halus. Terpaksa Kyai Gatuk Lokojoyo menasihatinya dengan cara lain untuk mendekati Jamaludin. Kyai Gatuk Lokojoyo mempunyai cara untuk sambung ayam sebagai siasat untuk mengalahkan Jamaludin. Sebelum sambung dimulai, diadakanlah satu perjanjian, bahwa barangsiapa yang kalah dalam sambung ayam tersebut, harus tunduk kepada yang menang.
Dengan kelebihan dan keunggulan ayam masing-masing, maka pertarungan pun dimulai. Pertarungan ayam jago itu sangat ramai, karena jago Gento Lokojoyo memiliki keistimewaan dan kekuatan yang sudah dikenal masyarakat luas. Gento Lokojoyo ayam jago petarungnya Ireng Nggalih tapi diganti jago Macan Putih yang berubah menjadi Ayam Widu Awar-awar yang merupak ayam sambung terhebat. Demikian juga jago dari Jamaludin bernama ayam jago Abang Pinetas, bukanlah jago yang sembarang jago, namun jago spesial sambung.
Pertarungan sambung ayam tidak seimbang sang Gento memakai ayam jelmaan dari macan putih dapat mengalahkan ayam Abang Pinetas. Dalam waktu yang cukup lama akhirnya persambungan ayam itu pun selesai. Sebagai pemenangnya adalah jago Sang Gento Lokojoyo. Maka sesuai dengan perjanjian Jamaludin harus tunduk pada Sang Gento Lokojoyo. Jamaludin mengingkari perjanjian karena mengetahui kalau Ayam Widu Awar-awar merupakan jelmaan dari Macan Putih.



 
Gambar 7 : ilustrasi Sambung Ayam jago Widu Awar-awar Gento Lokojoyo dengan Ayam Jago Abang Pinetas Jamaludin.

     Sang Jamaludin merasa tidak menerima kemenangan Gento Lokojoyo, maka terjadilah perkelahian yang berlangsung sengit. Gento Lokojoyo yang ora tedas tapak paluning pande, dan Sang Jamaludin yang dapat menjelma menjadi mahkluk lain menambah serunya pertempuran. Gento mengalami luka berat, ususnya terburai keluar dijadikan kalung oleh Gento Lokojoyo. Namun karena kesaktian Gento, dia masih bertahan hidup.
Menurut sumber cerita turun temurun sesepuh kampong tempat pertarungan Gento Lokojoyo dan Jamaludin ini sekarang dinamakan Lokojoyo, yang berasal dari kata luka dan jaya, artinya walaupun Gento Lokojoyo sudah terluka parah namun dia masih dapat bertahan hidup. Sedangkan Sang Jamaludin pergi ke daerah sebelah Barat Kampung Lokojoyo sekarang dinamakan daerah Pranji. Dinamakan Pranji karena pada zamannya daerah tersebut sebagai tempat Kurungan ayam Jamaludin. Sedangkan menurut sumber sejarah nama Lokojoyo berasal dari Riyadhoh atau tapa dari Sunan Jati Bonjor sebagai babad alas cikal bakal kampong Lokojoyo pertama jadi nama Lokojoyo sudah ada di kampong Lokojoyo setelah peristiwa Gento Lokojoyo tersebut.
Tinjauan sejarah dari sesepuh ada yang mengatakan bahwa Gento Lokojoyo dan Jamaludin setelah beradu kesaktian beliau masih hidup sampai kemudian Gento Lokojoyo menghilang mekerem (ilang tanpo rogo) disebelah timur jembatan kali Lokojoyo dia menghilang tidak tau kemana. Ayam widu awar-awar pun sering muncuk keberadaannya di sekitar jembatan kali Lokojoyo tersebut menurut masyarakat sewaktu-waktu ayam widu tersebut bisa berubah menjadi macan putih. Ayam widu awar-awar tersebut bisa menampakan diri pada orang-orang tertentu yang mempunyai daya spiritual.


Raden Sangkur Umar
(Raden Suparbo Wijoyo)

Gambar 8 : Makam Raden Sangkur Umar (Raden Suparbo Wijoyo) yang lokasinya ada di Dukuh Lokojoyo Rt 03 ditemukan oleh Pak Mukminin dari Amongrogo tahun 2005.
          Raden Sangkur Umar merupakan kelahiran Demak dari keluarga Raden Kumoro dan Dewi Sri Kusumo. Raden Sangkur Umar merupakan masih saudara dari Patih Lokojoyo karena ibunya merupakan keponakan dari Raden Kusumo Jinggo keturunan Adipati Tuban.
Raden Sangkur Umar merupakan murid dari Sunan Giri. Beliau mondok di pesantren Sunan Giri setelah selesai dari pesantren supaya mengembara ke berbagai daerah, selama 15 tahun. Raden Sangkur Umar pulang ke Demak setelah sampai dilokasi beliau menemukan selembar kertas, yang isinya supaya beliau pergi ke Alas Pagetakan untuk meneruskan perjuangan Raden Umar Syahid di Lokojoyo.
Raden Sangkur Umar datang ke kampung Lokojoyo adalah atas suruhan Sunan Kalijaga lewat surat. Beliau mulai datang ke kampung Lokojoyo diperkirakan tahun 1684 sampai 1706. Raden sangkur Umar merupakan ulama arif dan bijaksana yang datang ke Lokojoyo untuk berusaha mengajak Gento Lokojoyo untuk berbuat baik untuk mensyiarkan Islam, demi terwujudnya hidup yang tentram dan damai sesuai tuntutan agama.
Raden Sangkur Umar mensyiarkan agama islam sejaman dengan Gento Lokojoyo. Beliau melanjutkan perjuangan Gento Lokojoyo yang kemudian dijuluki Kyai Gatok Lokojoyo yang telah wafat. Perjuangan syiar islam di Lokojoyo dijalaninya dengan bekal ilmu agama beliau mulai mengajar para santri dengan tabah dan sabar. Setelah melewati perjuangan yang amat panjang akhirnya pada hari Senin Pahing tahun 1706 beliau dipanggil oleh Allah SWT dan dimakamkan di Dukuh Lokojoyo.
          Setelah Raden Suparbo Wijoyo wafat sampai kurun waktu satu abad Dukuh Lokojoyo mengalami kekosongan ulama, tetapi masyaraknya sudah mengenal ajaran Agama Islam dengan baik. Masyarakat Dukuh Lokojoyo hidup damai Syiar agama Islam telah merata dianut peribumi Lokojoyo.         

Raden KH. M. Abdul Syukur
Gambar 9 : Makam Raden KH. M. Abdul Syukur yang lokasinya ada di pemkaman umum Dukuh Lokojoyo ditemukan oleh Pak Mukminin dari Amongrogo tahun 1997.
Raden KH. M. Abdul Syukur merupakan keturunan dari keluarga Raden A. Murtadho dan Siti Barokah. Ayahnya merupakan keturunan Raden Sastro Kusumo dan siti Asmoro.
Raden KH. M. Abdul Syukur merupakan ulama tokoh syiar islam di Lokojoyo yang sampai sekarang masih ada keturunan sililahnya dikampung Lokojoyo. Raden KH. M. Abdul Syukur diwaktu usia masih muda beliau berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk mencari ilmu agama. Beliau pertama mondok di Curug Pamungkas Jawa Timur dibawah asuhan Ki Ageng Jenggot Sajoyo, pada waktu itu berumur 15 tahun. Dengan tekun beliau belajar dipondok itu selama 5 tahun Ki Ageng Jenggot Sajoyo berwasiat supaya pergi ketanah Cirebon, untuk menimba ilmu dipondok pesantren Ki Ageng Jenggot Sayuto. Dengan niat pasti beliau menempuh perjalanan ketanah Cirebon dan dididik selama 2 tahun karena sesudah itu Ki Ageng Jenggot Sayuto wafat. Setelah itu beliau kembali lagi ke Jawa Timur, selama 1 tahun, beliau dididik lagi oleh Ki Ageng Jenggot Sajoyo.
Pada waktu itu Ki Ageng Jenggot Sajoyo wafat meninggalkan pesan kepada Abdul Syukur supaya pergi ke tanah Banten untuk berguru kepada Ki Ageng Jagat Wilantoro. Dengan berbekal ilmu akhirnya beliau dengan berjalan kaki pergi ketanah Banten. Setelah sampai di Banten beliau dididik selama 7 tahun. Setelah dianggap cukup akhirnya beliau diperintahkan menyebar islam kedukuh Lokojoyo yang telah ditinggalkan oleh Raden Syaidina Umar Malik.
Pada tahun 1832 Raden KH. M. Abdul Syukur datang sampai di Lokojoyo beliau isaroh dan ditemui oleh Raden Syarif Umar setelah menetap di Lokojoyo beliau mulai membimbing bab agama Islam. Semakin hari banyak yang menyantri kepada beliau. Dan akhirnya beliau membuat pondok untuk belajar para santri.
Haji Abdul Syukur menikah dengan Siti Safilah mempunyai dua anak yaitu Raden Abdul Dhofa dan Siti Sujinah. Anak pertama Raden Abdul Dhofa menikah dengan Siti Maimunah. Anak gadis yang kedua bernama Siti Sujinah menikah dengan Kyai Mas’ud seorang ulama yang mendirikan Masjid Kranji Petamanan. Keturunan Raden KH. M. Abdul Syukur sampai sekarang menyebar di dukuh Lokojoyo dan dukuh Petamana.
Keturunan Raden Abdul Dhofa yang menikah dengan Siti Maemunah dikaruniai 6 (enam) anak mereka adalah 1) Jiyah, 2) Saderi, 3) Bonjor, 4) Laseh, 5) Tuji dan 6) Jambari. Semua Raden Abdul Dhofa menurunkan keturunan hingga anak cucu yang ada di Dukuh Lokojoyo.
Menurut sumber babad Petamanan Raden KH. M. Abdul Syukur dijuluki sebagai Haji Platuk karena pada waktu berangkat menjalankan ibadah Haji ke Makkah dengan membawa bekal burung Platuk. Di sepanjang perjalanan pergi hajinya beliau mempertunjukkan kemampuan burung Platuknya.
Babad Petamanan dikisahkan bahwa dalam proses pembangunan masjid Kranji oleh Kyai Mas’ud karena kegigihannya maka KH. Abdul Syukur tertarik dengan pemuda Petamanan. KH. Abdul Syukur berkeinginan menjodohkan anak gadisnya Siti Sujinah dengan pemuda Mas’ud yang sedang berjuang mensyiarkan Islam di Petamanan. Pembangunan Masjid Kranji berjalan lancar dengan bantuan logistik dari KH. Abdul Syukur. Walau belum sempurna, masjid telah dapat digunakan sebagai tempat beribadah. Mereka membutuhkan seorang yang mempunyai suara cukup merdu dan lantang sebagai muadzin (tukang adzan), maka diangkatlah pemuda Ya’qub sebagai muadzin yang berasal dari Lokojoyo.
Akhirnya pemuda Mas’ud menjadi menantu KH. Abdul Syukur dengan mempersunting Siti Sujinah sebagai istrinya. Kehidupan Kyai Mas’ud menjadi semakin bahagia dengan karunia anak-anak yang shalih-shalihah. Buah pernikahan Mas’ud dan Siti Sujinah menurunkan 6 (enam) orang putra yang terdiri 3 (tiga) laki-laki dan 3 (tiga) perempuan. Mereka adalah 1) Yusuf, 2) Markonah, 3) Muhammad Asror, 4) Zaenab, 5) Khabib, dan 6) Maesaroh. Semua keturunan Kyai Mas’ud dan Siti Sujinah menetap di Dukuh Petamana hingga anak cucunya.
Raden KH. M. Abdul Syukur meninggalkan sebuah Bokor yang sampai sekarang masih dipelihara oleh keturunannya yang masih ada di dukuh Lokojoyo. Pada hari Minggu Kliwon tahun 1862 beliau dipanggil oleh Allah SWT dimakamkan di tempat pemakaman umum dukuh Lokojoyo.

Gambar 10 : Peninggalan KH. Abdul Syukur berupa Bokor sebuah tempat air terbuat dari logam kuningan sekarang benda tersebut berada di rumah Bapak Riono di Lokojoyo Rt 03.

Kyai A. Khasan

Setelah KH. Abdul syukur wafat akhirnya diteruskan oleh Kyai A. Khasan yang pada waktu itu mondok di Mataram selama 5 tahun dan di Blitar selama 3 tahun. Setelah itu Kyai A. Khasan disuruh pulang kekampung halaman yaitu Lokojoyo. Kyai A. Khasan meneruskan perjuangan KH. Abdul Syukur dan merupakan masih kerabat kyai.
Menelisik sejarah selanjutnya syiar islam di Lokojoyo tidak lepas dari perkembangan tempat ibadah yang jaman dahulu dinamakan Langgar atau surau. Langgar, surau, atau mushala mengandung pengertian sebagai bangunan untuk tempat ibadah bagi umat Islam dalam ukuran yang relatif kecil dan sederhana, lebih kecil ukurannya dibandingkan masjid. Pada masa lalu ketika penduduk belum begitu banyak, surau atau langgar sudah dapat menampung atau mencukupi kebutuhan peribadatan warga sekitar atau setempat.
Langgar awal merupakan sederhana berbentuk panggung terdapat pada zaman Kyai A. Khasan di depan rumahnya. Langgar panggung Kyai A. Khasan dibuat dengan bahan bambu yang umumnya dikerjakan dengan sederhana. Disamping langgar, ada pula rumah Kyai A. Khasan yang dijadikan sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan agama Islam zaman itu.
Langgar panggung yang didirikah oleh Kyai A. Khasan merupakan langgar pertama yang berada di kampong Lokojoyo. Lokasi langgar awal bila ditinjau zaman sekarang berada di depan rumah Mbah Sahud atau mbah Mismi di Rt 04 Lokojoyo karena rumah itu merupakan peninggalan dari keturunan Kyai A. Khasan.
Langgar ini dulu berfungsi sebagai tempat ibadah dan tempat menimba ilmu pendidikan Islam bagi para santri. Kyai A. Khasan merupakan ulama mempunyai santri bernama Mbah Musdai bapaknya Ramadi Dalang. Kyai A. Khasan membuat tempat wudhu terbuat dari tanah liat berupa gentong yang sampai sekarang masih ada.
Mbah Kyai A. Khasan meninggal dunia sepeninggalannya Langgar panggung di kelola mbah Musdai. Hingga saat ini, langgar tersebut sudah tidak ada lagi bekasnya. Menurut sumber sebagian sesepuh, sepeninggalnya mbah Musdai langgar panggung karena terbuat dari kayu oleh masyarakat dengan gotong-royang diangkat bersama-sama di pindahan ke depan rumah mbah Jambari bapaknya Munawar. Mbah Jambari merupakan yang meneruskan perjuangan Kyai A. Khasan dan mbah Musdai. Di tempat langgar mbah Jambari di jadikan sebagai tempat menimba ilmu agama islam atau guru ngaji.
Terjadi beberapa kali perpindahan langgar panggung ini karena pada zamannya langgar ini merupakan dijadikan tempat ibadah dan sebagai tempat ngaji. Langgar di pindah ketempat yang lebih dekat dengan guru ngajinya supaya para santri dalam menuntut ilmu agama lebih mudah jadi langgar dijadikan tempat wahana dakwah belajar agama.
Perkembangan selanjutnya Langgar panggung dikelola oleh Pak Lebe Sunari bapaknya Turyono setelah mbah Jumbari meninggal kemudian dipindahkan lagi lokasinya di depan rumah Pak Monasim. Sepeninggalan Pak Lebe Sunari meninggal dunia kemudian Langgar panggung di pindahkan secara gotongroyong oleh masyarakat ke tempat Mbah Tumiah ibunya pak Diro yang merupakan tempat yang strategis berada di tengah-tengah kampong Lokojoyo. Dalam perkembangannya Langgar panggung karena sudah berusia lama maka kayunya lapuk. Masyarakat memugarnya menjadi Masjid yang di beri nama Al Ikhlas. Masjid Al Ikhlas Lokojoyo sekarang berdiri megah di tengah kampong sebagai sentral umat islam dalam beribadah di kampong.
Masjid Al Ikhlas Lokojoyo, menurut sejarah Masjid ini dimulai dari sebuah Langgar yaitu tempat ibadah sementara yang daya tampungnya hanya sekitar puluhan orang, kemudian dijadikan basis penyebaran Agama Islam dan sebagai tempat pusat ibadah umat islam dikampung Lokojoyo.
Sekarang kampong Lokojoyo selain berdiri masjid Al Ikhlas juga media dakwah dan agama disetiap Rt dibangun langgar atau mushola. Setelah berdirinya masjid langgar selanjutnya dibangun adalah mushola di Rt 08 merupakan dulu sebagai media ngaji mbah musdai, selanjutnya dibangun mushola Rt 03, Mushola Rt 01 dan Mushola Rt 02.
Dukuh Lokojoyo merupakan pedukuhan sederhana semoga lebih berjaya maju dalam perkembangan syiar agama islam dapat dihormati oleh desa lainnya.
Gambar 11 : Sejarah Masjid Al Ikhlas Lokojoyo yang telah dipugar menjadi Modern yang jaman dahulu sebagai media dakwah berbentuk langgar panggung.


PERKEMBANGAN SYIAR ISLAM DI LOKOJOYO








ANALISIS

 



Cerita mengenai sejarah Dukuh Lokojoyo diatas merupakan salah satu bentuk folklore. yang termasuk dalam bentuk folklor lisan. Disebut folklor lisan karena penyebarannya dilakukan secara lisan dari mulut ke mulut antar generasi. Legenda mengenai sejarah Dukuh Lokojoyo didalamnya terkandung ciri-ciri suatu folklor, yaitu: sejarah Dukuh Lokojoyo disebarkan secara lisan dan bersifat tradisional karena disebarkan secara kolektif dan dalam waktu yang cukup lama. Bersifat pra logis, memiliki logika sendiri, tidak sesuai dengan logika umum, karena legende ini bisa dikatakan hanya menganut apa yang dikatakan (diceritakan) para sesepuh desa.
Sejarah Dukuh Lokojoyo termasuk dalam bentuk legende, yang menceritakan asal-usul berdirinya suatu wilayah yaitu Dukuh Lokojoyo. Legende tersebut diatas menceritakan tentang dukuh Lokojoyo yang didirikan oleh para Waliyullah Lokojoyo yaitu Sunan Ibrahim asmoroqondi, Raden Syarif Umar (Sunan Jati Bonjor), Putri Pandansari, Raden Umar Syahid (Kyai Gatok Lokojoyo), Raden Syaidina Umar Malik (Patih Lokojoyo), Raden Sangkur Umar (Suparbo Wijoyo) dan Raden KH. M. Abdul Syukur. Ia menyebarkan agama Islam seperti yang dilakukan oleh para Wali Songo memiliki pribadi yang sederhana, pemimpin yang dihormati oleh masyarakatnya dan tidak senang dipuja. Nama dukuh Lokojoyo adalah hasil dari Riyadhoh atau tapa Raden Syarif Umar atau Sunan Jati Bonjor sebagai babad alas cikal bakal Lokojoyo. Perkembangan zaman tempat pertarungan Gento Lokojoyo dan Jamaludin dinamakan Lokojoyo, yang berasal dari kata luka dan jaya, artinya walaupun Gento Lokojoyo sudah terluka parah namun dia masih dapat bertahan hidup. Nama Lokojoyo tersebut mengandung harapan agar dukuh Lokojoyo kedepannya lebih berjaya, yaitu diantaranya agar agama Islam semakin berkembang di desa tersebut, serta desa yang dikenal sederhana tetapi maju, dihormati oleh desa lain.
    Fungsi yang terkandung dalam legende ini juga memuat fungsi –fungsi folklore didalamnya. Antara lain fungsi pencerminan angan-angan, dengan adanya nama Lokojoyo maka diharapkan (angan-angan) agar Dukuh Lokojoyo kedepannya memiliki citra yang baik di mata masyarakat Dukuh Lokojoyo sendiri, serta masyarakat lain. Legende ini juga memiliki fungsi sebagai alat pendidikan, dengan sosok Waliyullah Lokojoyo, diharapkan anggota masyarakat dukuh Lokojoyo bisa menjaga Syiar Islam bisa berjaya dimasanya.